Suatu pagi. Kutemukan kepala ikan asin di pekarangan rumahku. Masih baru, tak ada tanda-tanda sudah dimasak. Mungkin seekor kucing tetangga yang membawanya. Kubiarkan saja. Nanti juga akan ada kucing lain yang datang. Aku hanya menyapukan daun-daun yang berserakan. Mencabuti rumput yang mulai merajalela.
Kulihat seekor lalat mulai datang dan mendengung. Seekor, lalu dua dan tiga. Tiga ekor lalat berpesta di atas kepala ikan asin itu. Kepala ikan asin yang tergolek di bawah pohon jambu. Lama kupandangi. Kemudian muncul dalam benakku laut yang luas. Biru. Ombak dan gelombang.
Seorang nelayan melempar jaring di tengah laut. Sementara nelayan yang lain berderet di pantai, bersiap menarik jaring di bawah terik matahari. Ikan itu barangkali sedang bermain dengan teman-temannya, berenang, atau mungkin sedang bercinta, ketika jaring jatuh ke dalam laut, lantas bergerak menangkap segala yang lengah.
Ikan itu mungkin menyadari kehadiran bahaya, namun tak sempat melarikan diri, atau ia sebenarnya bisa saja menyelamatkan diri, tapi berenang kembali ke dalam jaring untuk menyelamatkan kekasihnya yang terperangkap dan tak bisa lepas. Jaring kemudian membawanya ke pantai. Tangan nelayan menangkapnya. Seperti tangan kematian.
Ikan asin itu telah lama mati sebelum kepalanya terdampar di pekaranganku. Dirubung lalat. Bagi lalat kepala ikan asin itu barangkali seperti bunga bagi kumbang, atau perempuan cantik bagi lelaki. Lalat terus merubungnya. Mendengung.
Tapi tak ada banyak waktu untuk merenungi pesona kematian yang tiba-tiba singgah. Anakku sudah siap untuk diantar ke sekolah. Istriku berdiri dengan seragam kantornya. Kuhabiskan sisa kopi. Menghidupkan motor lantas pergi mengantar orang-orang yang kucintai.
Sekolah anakku tak terlalu jauh, ia masih sekolah dasar, sementara kantor istriku berada tepat di pusat kota. Sudah sejak lama ia mengabdi sebagai pegawai negeri. Sedikit ngebut, tak seperti biasanya, beberapa kali istriku mengingatkan. Namun pikiranku masih tertarik oleh sensasi kepala ikan asin tadi, ingin segera pulang dan menemukan keriangan lalat-lalat.
“Jangan lupa, bayar listrik dan telepon, Kang. Kemarin aku tak sempat bayar. Jangan lupa, nanti kena denda lagi. Rekening yang lamanya ada di atas kulkas.” Begitu amanat istriku sebelum ia melenggang masuk ke pintu kantornya.
Aku mencoba mengingat-ingat tanggal berapa sekarang. Kulihat layar ponselku. Tanggal 20. Ups. Ini sebenarnya tugas istriku. Ia mulai sedikit pelupa, semenjak kutemukan beberapa helai uban di kepalanya. Mungkin terlalu keras berpikir dalam pekerjaannya.
Kupacu sepeda motorku. Ingin segera sampai rumah. Begitu terburu-buru. Seperti hendak memburu sesuatu. Padahal hanya ingin kembali pada suasana yang membetotku di pekarangan. Kepala ikan asin dan lalat itu.
Sesampainya di rumah. Lalat masih berkerumun bahkan semakin banyak. Ada yang hijau dan besar. Seperti kepala suku bagi lalat-lalat yang lainnya. Mendengung. Tapi di mana kepala ikan asin tadi. Tak ada. Yang ada kini malah kepala ayam jago, darahnya masih segar.
Pada darah itulah lalat-lalat berpesta. Kemana kepala ikan asin tadi. Apa mungkin seekor kucing telah membawanya. Lantas dari mana munculnya kepala ayam jago ini. Tergeletak tepat di tempat kepala ikan asin tadi. Kucing. Apalagi. Hanya kucing yang dapat memanjat pagar. Anjing tak mungkin. Atau orang yang iseng. Tak baik berprasangka buruk.
Kepala ayam jago itu biru-biru dan penuh luka. Sebelah matanya pecah. Seperti baru saja berkelahi. Sebuah arena sabung ayam terhampar dalam kepalaku. Riuh penjudi. Teriakan dan uang. Ayam jago itu, yang kepalanya kini menjadi rebutan lalat, kubayangkan sedang bertukar pukulan dengan lawannya. Mematuk, melompat, menendang. Tajam paruh dan runcing taji. Terkenang lukisan Affandi. Bergidik. Darah dan keringat bercampur. Likat. Muncrat.
Leher ayam jago itu tiba-tiba tertikam taji lawannya. Jatuh. Ambruk. Mencoba untuk berdiri. Sempoyongan. Sepasang kakinya bergetar. Tubuh kuyupnya bergetar. Sayapnya lemah terentang. Lehernya patah. Seperti ingin berkokok menyambut maut. Lantas ambruk. Tak bangun lagi. Sorak-sorai. Sumpah serapah. Uang bertebaran. Sepasang tangan meraihnya. Tangan kematian. Kemarahan menyodorkan pisau. Dan inilah, kepalanya sampai di sini. Di pekaranganku. Dalam dekapan lalat-lalat.
Ayam ini belum lama mati. Masih ada sisa air dan darah. Luka yang basah. Terbuang di pekaranganku. Dipuja lalat-lalat. Seperti gula bagi semut, kekuasaan bagi politikus, minuman keras bagi peminum. Lalat tak henti hinggap dan mendengung di bawah rimbun daun jambu.
Dering telepon. Nyaring seperti teriakan istri yang memergoki suaminya selingkuh. Di kepalaku masih arena sabung ayam. Darah dan pertempuran. Bengis kematian. Berat melangkah. Membuka kunci pintu. Sedikit memaki, tapi tetap saja meraih gagang telpoon yang tak henti berteriak.
“Hallo.” Sapaku malas. Gairahku masih tersimpan di pekarangan.
“Hallo. Gimana kerjaannya? Buku itu akan terbit bulan depan.” Ternyata orang dari penerbitan menagih kerjaan.
Gila. Baru seminggu kemarin dia kasih kerjaan, naskah yang amburadul, mengeditnya sama saja dengan bikin buku lagi, entah kapan akan selesainya. Naskah yang payah.
“Sedikit lagi. Akhir bulan aku kirimkan.” Jawabku seenaknya. Lagipula enak saja nyuruh orang kerja cepat.
“Oke jangan sampai telat! Kalo itu kelar nanti aku kasih lagi kerjaan yang lebih banyak. Masih banyak naskah yang mesti diedit. Tenang saja…” panjang sekali orang itu berkata-kata.
Lama-lama suaranya berubah menjadi dengung. Seperti dengung lalat yang mengepung. Masuk dalam lubang telingaku, merubung isi kepala, dan masuk jauh dalam setiap ruang di tubuhku.
Klik. Kusimpan gagang telepon sekalipun suara dengung belum berakhir. Percuma kudengarkan. Dia tak butuh didengarkan, hanya butuh aku bekerja secepatnya. Selesai. Bekerja lagi. Lagi, dan lagi. Percuma memang kudengarkan, pekerjaanku belum selesai, tepatnya, entah kapan selesainya.
Biarlah, batinku, ingin mengusir ingatan tentang pekerjaan itu. Tak baik bekerja dalam kejengkelan, lagipula dengung itu kini bergulung dalam tubuhku. Aku teringat kembali pekarangan. Sebenarnya masih banyak rumput yang belum terjamah. Namun bukan itu alasan yang membuatku kembali berdiri di pekarangan. Aku terkejut. Hampir melompat dan berteriak.
Kepala ayam jago itu tak ada lagi. Tak ada. Seperti nasib kepala ikan asin yang tadi lenyap. Di bawah pohon jambu kini justru tergeletak kepala seekor domba. Besar dan bertanduk. Darahnya menetes dari urat-urat yang terpotong. Dan lalat. Lalat semakin banyak.
Ini bukan kerjaan kucing. Anjing tak mungkin dapat masuk. Kuamati pintu pagar masih tertutup seperti tadi. Apa mungkin ada yang iseng. Ada orang yang masuk diam-diam. Namun dari mana asalnya segala macam kepala ini. Tak mungkin jatuh dari langit.
Kuamati gang yang melingkari pekarangan rumah, rumah-rumah tetangga. Tak ada tetangga yang bekerja di tempat jagal hewan. Tentunya tak gampang untuk mendapatkan kepala domba ini. Ini bukan musim kurban, juga tak ada hajatan yang memungkinkan memotong hewan.
Tiba-tiba ada kengerian. Bukan tidak mungkin ada seseorang yang sengaja, dan sejak tadi memperhatikanku. Diam-diam mengirim kepala-kepala ini. Semacam teror. Tapi untuk apa. Aku tak punya musuh. Bulu kuduk mendadak berdiri. Kenapa isyarat kematian datang beruntun, dan bukan kebetulan. Bukan pekerjaan kucing.
Lalat besar yang berwarna hijau semakin banyak. Lalat-lalat kecil apalagi. Dengung sayapnya memenuhi pekarangan. Memenuhi kepala dan tubuhku. Lalat-lalat itu hinggap pada tanduk, mata, hidung, mulut, hampir menutupi seluruh kepala domba.
Domba. Domba ini pasti besar sekali tubuhnya. Tanduknya saja begitu besar, melengkung ke arah kupingnya. Gagah. Sangat gagah. Dalam kepalaku terhampar padang rumput. Domba ini gagah berlari di padang rumput. Seperti singa. Betina-betina mengaguminya. Berlomba mendapatkan perhatiannya. Namun domba ini lebih senang mengembara dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya. Seperti ingin membedakan aroma rumput di tempat yang satu dengan tempat lainnya. Air sungai yang satu dengan air sungai yang lainnya.
Sampai suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak penggembala yang matanya lebih jernih dari mataair. Domba itu memutuskan untuk ikut digembalakan oleh anak tersebut. Setiap saat memandang mata teduhnya, seperti memandang langit dan seisinya. Hingga datanglah hari itu, hari ketika ia ditangkap oleh tangan-tangan yang lembut. Lantas sebuah benda tajam mengiris lehernya, ia merasa dirinya berulangkali berubah menjadi anak gembala itu. Darahnya mulai mengalir, dan ia seperti sedang berlari dalam diri anak gembala itu. Begitulah, domba itu tersenyum dalam napas terakhirnya, seakan senyumannya adalah senyuman anak gembala itu.
Domba ini baru saja mati. Aku seperti melihat seorang anak dan bapak memanjatkan doa. Saling berpelukan. Airmata mereka melayang, lantas menjelma sebuah kendaraan. Kendaraan yang sangat bening membawa domba ke angkasa. Kematian dalam pengorbanan.
Ah, kepalaku terlalu jauh melambung. Dengung itu mungkin telah menjadi candu yang membawaku ke mana saja aku mau. Seperti mengembara. Kepala demi kepala yang datang ke pekarangan membawaku ke tempat-tempat yang jauh.
Namun, dari mana kepala-kepala itu datang. Siapa yang sengaja menyimpannya dan menggantinya dengan diam-diam. Kematian begitu keras merasuki udara. Siapa. Tak ada tanda-tanda mencurigakan semenjak pagi.
Semenjak kemunculan kepala ikan asin, kepala ayam jago, dan sekarang kepala domba. Kepala apa selanjutnya yang akan datang dan tergeletak di bawah rimbun pohon jambu, dalam pelukan lalat-lalat itu. Aku tak berani membayangkan.
Ada pesan masuk dalam ponselku.
“Jangan lupa jemput Kiara. Bayar listrik sama telepon juga.” Pesan dari istriku, mengingatkan. Aku memang suka lupa segala hal jika sudah bekerja.
Namun aku sekarang tak ingin pergi. Tak ingin pergi ke mana pun. Aku tak ingin pergi dari pekarangan ini. Barang sedetik. Aku tak ingin pergi.
Aku hanya ingin berdiri di sini menjagai kepala domba dan dengung lalat. Sebab jika aku melangkah pergi. Aku khawatir, nanti kepala domba itu akan menghilang, dan kepalaku yang nanti akan berada di bawah rimbun daun jambu. Aku merasa, dengung lalat itu seperti memanggil-manggil namaku, memanggil kepalaku.***
Kedungpanjang, 2012
Kamis, 09 Mei 2013
Selasa, 30 April 2013
Posted by Unknown | File under : CARPON
(1)
Sapeupeuting gelap teu eureun. Guludug
tingbeledug. Langit gumuruh. Siga anu rék runtuh saharita. Saréréa ngaringkeb
manéh jeroeun imah. Saréréa? Horéng aya nu ngajanteng lebah Pos Ronda. Sapeupeuting
ngabedega mencrong hujan, nyanghareupan langit nu keur motah. Saban gelap
ngabeledag manéhna ngacungkeun peureup buleud. Peureup buleud nu beuki lila
beuki ngeleter.
“Merdékaaaa!” kitu jorowokna. Ngan
samerdéka-merdékana anu kaluar tina biwirna. Kalan-kalan sok kadéngé ogé ngagerendeng
humariring bari dumarégdég.
Ngan édas, da puguh hujan silantangan.
Sora ukur ngulibek di pos ronda. Teu nepi kamamana. Ukur pulang-anting dina
dirina. Sorana teu bisa ngungkulan sora hujan, sora gelap jeung guludug. Sorana
ukur soranganeun.
Sorangan. Sirahna dibeungkeut kaén merah
putih. Dina dadana anu taranjang, ngajeblag tato Garuda Pancasila. Leungeun
kencana nyekel bambu runcing. Ari leungeun katuhu teu eureun meureup ka langit.
teuing meureupan saha.
(2)
Lebah dieu ogé silantangan.
Alun-alun. Alun-alun siga anu rek kakeueum. Lebah jalan aspal nu laju ukur cai.
Lampu-lampu kakeueum hujan. Toko-toko siga ngahodhod. Gedong-gedong ukur belegbeg,
siga ririwa. Taya nu ngulampreng. Aéh, geuning aya nu ngajanteng handapeun
caringin kurung. Sapeupeuting cungelik katirisan. Ngemitan langit, nuguran
gumuruh. Mun pareng aya kilat ngabarasat. Awakna oyag-oyagan.
“Yun, ayun ambing…”kitu hariringna.
Sakitu-kituna. Ieu mah biwirna anu ngeleter téh, geunteul, ngeleter teu
eureun-eureun. Buuk gimbalna méh rancucut. Pakéan rawékna baseuh. Kitu deui
aisan nu tuluy usik, ayun ambing. Aisan nu duka naon eusina. Moal boa kanyaah
nu kari raheutna. Boa kétah.
Ngahariring keur saha. Da puguh saukur
haréwos nu méh pegat-pegat. Teu wasa
ngahontal daun. Kalah ngalayang kana jukut anu becrék. Meureun nyerep kana
akar. Boa kétah. Nu puguh mah hariring diseuseup ku sorangan.
Sorangan. Noroktok jeung tulang
sorangan.
(3)
Di terminal sarua waé. Hujan, gelap
jeung guludug. Komo lebah dieu mah, leuwih saheng jeung gumuruh. Bubuhan hujan
ninggang kenténg séng. Mobil tingjarepat siga bangké. Aya kénéh jelema nu ngaringkuk luhureun kardus. Siga nu talibra
ngeukeuweuk impian, duka lamun ngeukeuweuk ajal. Talibra? Manahoréng aya nu
norowéco di hiji juru. Bari peureum. Curukna acung-acungan. Leungeun kéncana
nyekel sapu nyéré. Kalan katingalina siga nu keur ngahitar. Kalan siga anu keur
nyapuan awak sorangan. Nyapuan diri sorangan.
“Pun sampun…”ih, sada ngarajah semu
ngalindur. Teu kebat da éta jeung éta wé. Siga saawak-awak ngeleter. Awak nu bégang,
tinggal daki jeung budug. Biwirna siga nu imut, siga anu humarurung. Sakiceup
seuri, sakiceup ceurik. Teu diamparan kardus da manéhna mah cicing jeroeun
kardus. Kardus badag nu geus pejét. Nengah awakna nu katingali. Bubuhan manéhna
sila andekak. Siga dalang. Sapu nyéré sok tuluy diwayang-wayang, osok ogé tuluy
ditatangkeup.
Rajah naon atuh. Geuningan teu kebat sok
komo tamat. Sakadar nyerebung dina
kardus. Taya kebul-kebul nu muput alakpaul. Saukur muguran jero gumuruh.
Meureun kebek muput dada sorangan. Dada nu ragas. Nyarangsa dina iga. Iga. Iga
sorangan.
Sorangan. Pepeta bari peureum.
(4)
Geuningan di dieu mah hujan bet siga aya
nu ngabagéakeun. Pajaratan. Saban kilat ngempray sajorélatan. Taneuh beureum.
Tetengger jeung tetengger. Sidik di dieu mah nyaan talibra. Da puguh geus béda
alam apan pangeusina ogé. Kétah, palangsiang keur tingselendep ataawa ngulincer
dina samoja nu keur marangkak bodas. Sok ngagurilap mun kilat ngajorélat. Apan
taya nu hirup lebah dieu mah. cek saha? Itu, aya nu keur ngagecruk maculan
taneuh. Ngabelegbeg. Sora gecrukna pacul nyelendep. Siga wirahma jeroning hujan.
Gecruk. Gecruk. Nyulusup siga lagu jeroning mongkléng. Poék apan ari pajaratan
mah, da tara aya nu pirajeuneun masang lampu. Tapi bet asa jadi karasa buni.
“Pangjugjugan! Pangjugjugan…!” Sora nu
maca sajak. Gurunggusuh semu rumahuh. Ngan sakecap-kecapna. Bulak-balik.
Lamokot ku belok. Saawak-awakna taneuh beureum. Bobolokot. Kalan-kalan
nyakakak, kalan-kalan ngagerung humaregung. Laju ngagecruk.
Sajak naon atuh. Kalah ragot jeung
taneuh beureum. Sakecap, ukur sakecap. Némpasan hujan, murag kana liang nu
mimiti ngarandakah. Teu ieuh ngungkulan gumuruh, kalah leyur jeung cileungcang.
Boa mulang kana kana ragana sorangan. Raga nu teu eureun nyieun liang. Boa
ngaruang sorangan.
Sorangan.
(5)
Sapeupeuting gelap teu eureun. Guludug
tingbeledug. Langit gumuruh. Siga anu rék runtuh saharita. Saréréa ngaringkeb
manéh jeroeun imah. Saréréa? Horéng aya lumpat ti lebah Pos Ronda. Bubulucun.
Buligir. Lumpat mapay-mapay gang. Lumpat tataranjang ka lebah jalan. Bari
ngajorowok bangun hayang ngetrokan saban imah. Bangun hayang ngahudangkeun anu
keur ngogojod dina impian. Duka lamun keur ngetrokan diri sorangan,
ngahudang-hudang diri sorangan. Manéhna
ngajorowok bari ngacungkeun bambu runcing. “Sudah bébas negeri kita….!”
Kedungpanjang
2011
Senin, 29 April 2013
: 7, 3 skala richter
Kami ngajentringkeun girimis
sapeupeuting, ngiciprit sapanjang rengat wangunan nu marapat saampar kota. Kana
gang-gang anu ngahunyudkeun ruruntuhan, jalan-jalan anu rekah sarta taman anu
pasiksak. Kami hayang nyiram tapak kekecapan salira anu ngarongheap tadi sore, sarongheapan
ngeplokeun waktu, ngarieg-rieg tihang langit.
Kami ngajentringkeun girimis
sapeupeuting, maluruh lulurung dina
saban padalisan sajak, mapay lolongkrang kalimah, nyasar sela-sela
kecap, ngarampaan jungkrang hurup. Kami hayang sumerep kana akar kekecapan
salira nu ngalilirkeun lini wanci, ukur tilu kecap dina itungan detik, apan
harita detik ngajanggelek gegendir, sarta kahirupan muruluk saampar kota kami.
Kami ngajentringkeun girimis
sapeupeuting, ruruhitna ngabayak lebah sajadah lampah, mulang deui niruk raga.
Lir rebuan dunga anu runtuh jeung suhunan masjid, kami kemit jeung daun jeung angin,
ngurilingkeun wening sakurilingbungking malar kekecapan salira kabaca
genclangna kapulut halimpuna.
Ciamis, 13 ramadhan 1430
: Wida Waridah
Lauk-lauk salawasna nyaring
ngaderes janari, kocépatna ngeleterkeun ayat-ayat nu ngaborélakkeun canémbrang
purnama. Salira ngéjah urat-urat cahaya urat-urat cai urat-urat angin,
ngalenyepan geter surat katresna bari ngaragap nu nguliat dina rohang-rohang
dada. Sora salira lir haririring anu nyurup kana pancuran waktu, madakeun rénghap
kana genclang, ketug kana curulung nu nyiram kalbu.
Lauk-lauk teu mijah ukur ngocépat
jeung gurilap. Lir nyarungsum deui lembur anu lawas humarurung, kami maluruh
gebur dina saban daun anu khusyu nguramasan saban serat-seratna, bangun
nafakuran sésa gedur beurang anu ngahuru ragana, bet kapireng haréwos kasono
muguran kana émpang, hayang lebur dituguran lauk. Kami gumuruh jeroning
jempling marengan salira nu beuki anteng ngagalindengkeun kereteg langit jeung
bumi, ngaleugeut geugeut teuteup nu ngarabengkeun rebuan kalimah rusiah ti
awang-awang ka émpang, ti émpang ka awang-awang.
Urang rerencepan ngantelkeun geunteul narabas
kamalir dina nadi jeung rénghap, dina dada jeung raga, ngudaran saban anu
nyangsang. Taranjang mirupa lauk, ngojayan émpang nu lian, purnama anu lian.
Nyaring ngaderes janari, ngajaring wening birahi. Nyirungkeun daun-daun hirup,
bekel lumampah mulang ka kota. ”Purnama salawasna bakal langgeng gumiwang,
urang ngabungbang saban peuting maca lampah sapanjang mangsa, urang baris
mipit nyaring!”
2009
Posted by Unknown | File under : CARPON
Hah. Tuuuiiiiiiiit.
Sora hapé ngajuit. Sada bom rék ngajelegur téa. Ngajuit anu
kasabarahpuluhkalina. Gap. Gancang dibaca. Dimana,
Ayang? Angger ari geus kieu téh. Teu kaop wé. Jauh saeutik pasti ngerewih.
Hayang panggih lah, hayang dianteur lah. Jeung hayang-hayang séjénna. Padahal
karék tadi silihgaléntoran. Acan lila. Ukur jam-jaman. Kagok ayeuna mah. Maca
can tamat. Hanca ti jaman naon. Teu kaur dek. Sok aya we gogodana.
Hapé
dibalangkeun. Dekul deui kana buku. Hapé ngajuit deui. Ukur direrét. Asa rada
keuheul. Nambahan sabaraha kaca. Juit deui. Ngarawél bantal. Ditindihkeun kana
hapé nu kekejetan. Jep. Uleng nunutur
aksara jeung kecap. Lieur sabenerna mah maca buku téh. Loba kerungna. Sabab
meusmeus kalimah ésémés anu tadi nyayang dina lambaran anu dibaca. Dimana, Ayang? Eta geus kadéngé deui
waé ngajuit handapeun bantal. Siga beurit nu kabekem. Nyel téh. Hapé dicokot
tuluy dibantingkeun. Nenggel pisan kana tembok. Brak. Mancawura.
Tapi nu
ngajuitna geuning teu leungit. Kalah leuwih kerep. Kerep. Juat-juit. Ti mamana.
Tina saban sesemplékan hapé. Kasebelan. Buku dibalangkeun. Ngotéténg néangan
sapu. Disapukeun sina ngahiji. Sup kana kantong kérésék. Gurudug ka pipir imah.
Mawa pacul. Gecruk. Gecruk. Nyieun lombang sabot nu juat-juit tuluy maceuh dina
kantong kérésék. Gebrus diasupkeun kana lombang. Dikubur saharita kénéh.
Rénghap. Asa ku arahéng
kieu poé téh. Tacan gé réngsé neundeun pacul. Jol aya deui sora ngajuit. Pipir
imah pinuh kunu sora ngajuit. Taneuh. Tangkal. Dangdaunan. Tingjaruit. Najis.
Naha jadi kieu carita téh. Eusi ésémés. Anu tadi. Dimana, Ayang? Bét kabaca di mamana. Aya di mamana. Kamana beungeut
nyanghareup. Di lebah dinya aya kalimah tadi. Dipeureumkeun kalah leuwih kadeuleu.
Rurusuhan asup
deui ka imah. Reuwas. Boa pangaruh lapar, tetempoan jeung dédéngéan jadi teu
eling. Tapi geuning nya kitu. Jero imah gé pinuh kunu ngajuit. Sada bom rék
ngabeledug di mamana. Dina katél. Panci. Kompor. Piring. Gelas. Bari ngajepat
kalimah eusi ésémés. Geblus ka kamar mandi. Kitu kénéh. Keran. Gayung.
Eunteung. Wadah sabun. Sikat gigi. Bak. Toilét. Ngajuit bari dipinuhan aksara.
Leuwih-leuwih ti dijungjurigan ieu mah.
Hiji-hijina jalan
nya kudu nepungan anu ngirim ésémésna. Meureun bakal eureun sagalana. Bakat ku kaweur méh waé kebat mangprét ka
luar. Ari ras ukur dikokolor jeung kaos sangsang. Gancang lumpat deui ka kamar. Orokaya. Nu
ngajuit geuning nyiliwuri di mamana, nu ngajepat ngaririwaan di mamana.
Saimah-imah. Mani asa rék sabeled-beledugna wé bom teh. Hayang nyokél panon
jeung nyocokan ceuli. Ngadaregdeg ngajéwang baju jeung calana anu ngagantung
dina kapstok. Kapstok ogé ngajuit. Barang rap kana baju jeung calana.
Kasebelan. Baju jeung calana oge sarua. Ngajuit. Tapi da kumaha deui. Maenya
kudu tataranjang. Asa maké baju bom anu pinuh ku kalimah ésémés. Boa bakal kabaca
ku saréréa. Paduli. Asa-asa geus asup kana gélo ieu téh.
Belenyeng. Mapay
gang. Teu sirikna hayang lumpat satarikna. Rék teu kitu kumaha da puguh
sagalana ngajuit jeung ngajepat. Gang pungkal-péngkol. Muringkak. Da saban
kadéngé ngajuit. Saban tingkerejet sagalana. Tuluy ngajepat kalimah.
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana,
Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit.
Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit.
Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Héh. Kaluar ti
sungut gang. Ngadadak poho kana jalan. Gusti. Kebek hayang geura nepungan SI
Ayang. Tapi kamana. Kénca. Katuhu. Lempeng. Kamana. Naha bet ngadadak poho. Diubek
eusi sirah nu aya ukur nu ngajuit jeung kalimat anu ngajepat. Tobat. Ieu sirah
naha jadi kieu. Cilaka. Beungeutna ogé teu nyampak. Na kamana ingkahna ingetan.
Nénjo mobil bet siga hapé anu tingsalebrut. Balap. Patarik-tarik. Silihsiap.
Bari ngajuit tarik pisan. ngajepat atra pisan. Jalma teu jauh béda. Tingaraleut
di trotoar. Aya nu ngagedig. Nu lénglé. Nu pacekel leungeun. Nu angkaribung. Nu
ngadorong roda. Nu ngalamun. Anu hohoak. Kabéhanana bet mirupa hapé. Rupa-rupa
hapé.
Ayang, na dimana
ari salira, Ayang? Tibalik. Ayeuna jadi sasambat kanu tadi nyambat. Da jeung
enyana apan ieu mah kudu tepung. Sangkan sagalarupana mulang deui ka asal.
Panyakit moal cageur lamun teu panggih jeung akar lantaranana. Ti dinya
sungapanana. Tapi kudu kamana. Kota
kalah asa ngepung kieu. Suku ngaléngkah sakahayangna. Remen
rundag-randeg. Da puguh apan tetempoan jeung dédéngéan kitu béhna. Teu kaur ngaléngkah.
Ngagebeg jeung ngaranjug. Jalma. Mobil. Gedong. Kabéhanana mirupa hapé. Nu
ngajuit. Ngerejet. Bréh kalimah nu éta-éta kénéh.
Anjog ka
parapatan. Luut-léét késang. Leuleus awak. Leuleus haté. Boa ieu anu disebut gélo téh. Méh ngalémpréh
handapeun jalan layang. Tipepereket meureumkeun panon jeung nutupan ceuli ku
leungeun. Sanajan angger taya bédana. Kalah tambah parna. Nyaan, hayang nyokél
panon jeung nyocokan liang ceuli. Hayang nyoplokeun panon jeung ceuli. Naon
hartina panon jeung ceuli ari sakadar nyiksa mah.
Ayang, Dimana,
Ayang? Jojorowokan geus puluhah kali. Genggerong nepika garing. Tapi taya nu némbalan.
Rét kana lampu beureum. Héjo. Konéng. Boa dijero lampu beureum. Geuning loba nu
tingkurunyung dina kerejep lampu beureum. Monyét luncat ti dinya méméh tuluy
jadi hapé nu runyah-renyoh. Kurunyung budak leutik mawa tanggungan, mawa koran,
mawa gitar, mawa dagangan. Monyét jeung budak leutik tingkurunyung tina kerejep
lampu beureum. Tingkalayang. Barang nincak aspal jleg wé jaradi hapé. Ngajuit.
ngerejet. Pinuh ku aksara. Sésélékét dina antayan hapé nu minuhan jalan.
Teu talangké. Térékél
naékan lampu beureum. Meureun nyumput di dinya. Can ogé laksana. Sora nu
tingjaruit beuki tarik. Loba leungeun ngarawél awak. Diguguyeng. Dibalangkeun.
Nangkarak bengkang dina trotoar. Lampu beureum kaburu jadi hejo. Bangkawarah.
Asa enya si Ayang cicing di dinya. Apan kungsi ngajak nguriling ti lampu
beureum ka lampu beureum. Niténan saban anu ngarenghap jeroeun lampu beureum.
Ngagidir. Gap
kana batu. Belewer. Malédog lampu beureum nu pareum. Hayang sina peupeus.
Hayang nyaho jerona. Na atuh gampleng téh. Bangkieung. Gancang lumpat barang nénjo aya hapé maké
baju pulisi. Ngajuitna alahbatan naon.
Derengdeng deui.
Asa diuudag rébuan hapé. Nu ngajuitna siga bom arék ngabeledug. Lumpat
sakalumpat-lampét. Geus teu mireungeuh tincakeun. Padu deregdeg wé. Lumpat teu
eureun-eureun. Asa hayang nepi ka tungtung bumi. Asa hayang nepi ka tempat
pangsuninna. Hayang reureuh tina nu ngajuit. Ngerejet. Ngajepat.
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana,
Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit.
Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit.
Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Hoh. Tipaparétot kénéh. Poé geus reup-reupan.
Galuang-galéong. Titajong tarik pisan. jurahroh. Irung nyium taneuh. Taneuh
beureum. Gundukan taneuh beureum. Réa kembang luhureuen taneuh beureum téh. Horéng
kuburan anyar. Gancang cengkat bari ngabirigidig. Ieung geuning astana. Naha bet
jol ka dieu. Kuburan mani neba. Kuburan kota. da taya iuh-iuh tatangkalan.
Meureun tadi titajong kana tetengger.
Rénghap. Asa
jempling. Rut-rét. Enya jempling pisan. boa Si Ayang aya di dieu. Pédah wé
ngadadak jempling. Asa rék nepi kana nu dijugjug. Enya, siah. Pasti di dieu.
Keur susulumputan. Hayang ucing sumput. Siga lamun keur otél paduduaan. Apan
sok ngadadak ngaleungit hayang ditéangan.
Arék dihongkeun
siah. Mun kapanggih rek langsung ditangkeup jeung dikerekeb. Bongan
ngaririwaan. Keteyep mapayan unggal makam. Dipapay hiji-hiji bisi nyumput
satukangeun tetenger. Atawa témbokan makam anu rada luhur. Dipapay. Imeut. Taya
nu kaliwat. Sakapeng nepika ngalangsud bakat ku sieun kaperego kunu nyumput.
Kalan bari ngaharewos. “Dimana, Ayang?”
Harewos anu semu haroshos. Hayang geura tepung.
Meh
tujuhbalikan. Eta astana dikuriling. Lebeng. Geuning teu kapanggih. Mulang deui
kana kuburan anyar. Jol dipapag sora nu ngajuit. Kuburan ngerejet. Dina
tetengger ngajepat kalimat nu éta-éta kénéh. Tah, siah. Di dieu. Meureun méré
isarah. Kabeneran. Rét aya singkup ngagolér teu jauh ti kuburan éta. Sigana
tinggaleun sabada ngurebkeun. Teu talangké. Kuburan anyar digali deui. Moal
salah di dieu. Ayang, salira bet nyumput lebah kuburan.
Gecruk. Gecruk.
Peuting mimiti ngaringkeb. Lampu mimiti caraang ti lebah jalan. Teu karasa
ngagali geuning geus jero. Nu ngajuit beuki sidik jeung kerejetna. Gecruk.
Gecruk. Beuki jero beuki meredong. Barang kadéngé ngageduk. Tah, geuning. Nepi
ogé. nyangkeredong dina meredong. Samar-samar boéh. Gancang dirawél. Dibedol.
Dipangku. Beuki ngajuit, beuki ngerejet. Ayang, salira naha bet nyumput dina
boéh. Hésébéléké dipanggul ka luhur. Ngaliwatan gundukan taneuh nu uruy.
Boéh lalaunan
dibuka. Ari bréh. Horéng hapé saukuran jelema. Hapé nu geus jadi bangké.
Ayang, Ari Ayang
dimana? Gorowok deui.
Harita. Ti unggal
makam kadéngé meh rampak tingjaruit. Tingkerejet. Kalimah nu éta-éta kénéh
ngajepat dina saban tetengger. Harita bulan kumarayap nyaangan astana. Bulan di
langit karérét ngerejet ogé. langit ngajuit jeung ngerejet tuluy kalimah éta téa
minuhan langit peuting. Nya, Harita ogé aya nu tingkedepruk ngarungkup awak ku
karung.
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?..... ****
Kedungpanjang 2011
Posted by Unknown | File under : CARPON
Pabeubeurang. Kiwil kaluar ti kantor pos. Pareng
bubaran budak sakola. Budak SMP pabeulit, rarécét. Tukang béca, tukang ojég.
Angkot ngaretém. Saurang pulisi budayut
paciweuh megatan aleutan mobil sangkan nu meuntas laluasa.
Taman kota keur pésta sorot panonpoé. Airmancurna
pareum. Kembang-kembang jeung daunna layu. Iklan roko burahay. Dina trotoar katénjo
aya nu keur shooting. Saurang pamuda gondrong janggotan keur ngarayu wanoja anu
biwirna beureum, buukna beureum. Beureum siga warna iklan roko. Nu nyekel kaméra
nyusutan késang.
“Ekseeeen!!!!” cek nu ditopi ngagorowok mapakan
sora klakson jeung knalpot.
Pamuda gondrong ngaléndéan wanoja. Wanoja
jejebris. Pamuda gondrong ngabudalkeun kekecapan. Leungeunna pepeta. Wanoja
muringis. Aya aki-aki maké seragam véteran
leumpang hareupeun nu mawa kaméra.
“Kaaaaaat!!!!” nu ditopi ujug-ujug médéngkréng.
Ngababetkeun topi. Saréréa milu médéngkréng. Aki-aki haré-haré. Leumpang
tumaninah muru tukang ojég nu keur anteng lalajo shooting. Clak. Biur. Nu
shooting masih tingpédéngkréng. Saréréa nurutan nu maké topi. Pamuda gondrong
pangangguran bari noél pipi wanoja beureum. Si wanoja sakilat malik nampiling.
Ngajenggut janggotna. Gur-ger.
Kiwil nyéréngéh bari leumpang ka pos pulisi anu
agréng bangun hayang nyaingan agréngna masjid agung. Agréngna gedung bupati.
Enya sawaréh pulisi nyaralsé di jero rohangan. Puguh atuh da aya AC sagalarupa.
Keur peujeuh mah pernahna dina iuh-iuh caringin kurung di juru alun-alun. Raos
kacida.
Pos pulisi ukur diliwat. Bati kabita hayang
ngiuhan.
Kiwil ngajanteng sakedapan handapeun tihang bandéra
di alun-alun. Buukna nu galing beuki murintil. Kaangin-angin.
Kudu ngiuhan dimana yeuh, pikirna. Masjid Agung.
Perpustakaan Daérah. Atawa joglo di taman kota. Pos pulisi rada araringgis.
Mulang ka tempat gawé lain bantrak-bantrakkeun. Morérét kieu. Kacipta kudu leumpang
nikreuh mapay trotoar. Ngaliwatan dua parapatan katiluna pertelon. Kituna mah
duit beak dipake ngeposkeun surat. Ari sugan murah singhoréng ngorédaskeun
saku. Bubuhan kilat khusus. Teu panasaran da sa surat keur bébéné di lembur. Orokaya
mulang kudu leumpang. Untungna pagawéan geus raréngsé. Kari ngeureutan hurup
jang sabloneun pesenan spanduk barudak statsion, anu cenah rék démo Palestina
tilu poé deui. Rada nyalsé éta mah gawéaneun peuting. Barina oge wayah kieu mah
pasti merul balad si Aang, ngoprék komputer, nyetélan filem indehoy. Sidik moal
bisa gawé. Da lain singkah-singkahkeuneun. Manéhna mah kadar pagawé. Maenya cucungah
ka babaturan dunungan.
Sawatara lila kalah siga
anu nangtang panas. Ngajentul gigireun tihang bandéra anu taya bandéraan. Duka
ditilepan dimana bandérana. Geus lawas Kiwil tara nénjo bandérana. Teu kawas
bandéra partai anu rapang dimamana, atawa gambar calon legislatip anu neba
alahbatan runtah. Hiji waktu éta ogé bakal jadi runtah. Pasti.
Perpustakaan Daérah. Masjid Agung. Atawa joglo
taman kota. Kiwil ngarénjag. Bet kawas. Pikiran. Haté. Atawa. Kiwil kerung. Rét
ka joglo nu pernahna peuntaseun jalan. Bréh sapasang rumaja keur silih pacok.
Filem indehoy nyirung dina lelembutanana. Laun nyirung.
“Tihang bandéra runtuh!!! Tihang bandéra
runtuuuuh!!!” jol aya nu ngagorowok satukangeunana.
Kiwil teu sirikna lumpat ngajauhan tihang bandéra.
Reuwaseun lain meumeueusan. Atuda tihang beusi sakitu jangkungna. Kacipta
ninggangna. Barang dirérét deui. Tihang bandéra angger ajeg. Aya nu gélo
cecengiran bari nunjuk ka manéhna.
“Tihang bandéra runtuh! Tihang bandéra runtuuuh!!!
Tihang bandéra katipuuu!!! Tihang bandéra katipuuu!!!!”cek nu gélo ceuceuleuweungan
bari nguiran tihang bandéra.
Kiwil tiban bisa kekerot. Leos meulah alun-alun.
Muru Masjid Agung anu sapasang menarana agréng kacida. Sup ka palataran
parkirna. Tukang jajaluk ngajajar. Lolobana awéwé dibaju karucel. Sawaréh mawa
budak. Papanasan. Padahal lain poé jumaah. Apan biasana mahabuna tukang jajaluk
lagu jumaahan. Ukur diliwat da puguh naon anu arék dibikeun. Korédas, Gusti,
sanés alim sedekah. Gerentesna bari ngadeukeutan tempat abdas.
Sup ka jéro masjid. Panas ngadadak jadi tiis.
Rut-rét. Rea nu gogoléran make baju PNS. Samalah aya nu tibra. Horéng masjid
teh jadi kantor geuningan. Bayeungyang ngaronghéap deui. Kateuteuari kalah jadi
panyumputan.
Sabérésna shalat. Kiwil kalah rut-rét nenjo nu
tinggalolér. Bet asa éra. Duka timana jebulna rasa éra. Semu wirang. Mangsana
ihtiar. Naha bet kalah hayang ngabebenah bulu mata. Kalah milu nyumput. Gancang
ngudar sila, laju ngahintul sakedapan lebah hambalan, nenjokeun sapasang sandal
capitna anu dipentrang panonpoé. Kacipta panasna lamun langsung dipaké. Rét ka
palebah tempat parkir, aya sapasang manuk nu keur silih pacok luhureun setang
motor.
Ari nu begér horéng teu weleh otél, gerentesna.
Barang nénjo ka juru tempat parkir, aya sapasang rumaja keur silih lahun
handapeun tangkal buah. Anteng kacida silih lahun bari ngiuhan. Teu ieuh
kararagok kunu lalarliwat, sok komo ku tukang parkir nu meus-meus niup piriwit
tarik kacida, sanajan taya parkirkeuneun. Nu nyirung dina lelembutan mimiti
pucukan. Bangun anu kacebor.
Kiwil panceg rék meuntasan mentrang, muru
Perpustakaan Daerah. Geus lila teu bucu-baca, bari ngadagoan iuh. Apan lalampahan
mulang masih kénéh jauh, mun dipaju asa teu purun. Leumpangna rada jéjéngkéan
da puguh séndalna karasa panas. Kaluar ti palataran masjid, ngaliwatan nu
jajaluk. Jajaran tukang dagang. Nu nyirop jeung nyedot duwegan. Papasangan,
suku pakojot handapeun meja, ari ramo rapet jeung papada ramo. Geuning dimamana,
cek haténa. Ras deui kana pirang-pirang filem indehoy nu kungsi dilalajoan, mun
pareng dunungannana nyetél, apan sok milu lalajo da puguh tempat saréna
hareupeun tivi. Daék teu daék nya milu lalajo. Di peureum-peureum gé da hésé. Nu
nyirung na lelembutan, laju mucukan, kebat ngemploh daunna.
Sapanjang leumpang geuning bet kumalangkang
mangpirang ringkang nu kungsi katenjo tina filem. Mani atra. Horéng ari nu kitu
mani napel, teu lésot-lésot tina ingetan. Kiwil mimiti ngarasa teu pararuguh.
Aya nu laun-laun gumuruh dina jero dadana. Siga aya panonpoé anu ngahuru. Léngkahna
geus bras deui ka alun-alun.
Alun-alun anu tadi. Tapi ayeuna réa pisan jalma.
Papasangan, ngariuhan handapeun tangkal caringin sarta tangkal-tangkal sejen
anu aya palebah dinya. Aya nu silih tangkeup. Silih léndéan. Silih pacok. Réa anu
tinggoléhé, silih saréan. Kiwil gasik ngagisik panonna ku leungeun anu mimiti
kesangan. Bréh éta deui. Eta deui. Sababaraha kali ngucap bari ngusap beungeut.
Tapi geuning téténjoan kalah beuki rosa. Réa anu mimiti silih udaran.
Kiwil lumpat meuntas jalan. Hayang buru-buru
ninggalkeun alun-alun. Sora klakson mirig Kiwil anu lumpat teu nolih
kenca-katuhu. Anjog ka hareupeun kantor DPR, kiwil rénghap ranjug. Teu hayang
malik katukang ka lebah alun-alun. Panenjona manco ka hareup, kana mobil anu
ngajajar di palataan parkir kantor DPR. Ambuing, mobil teh geuning aroyag kitu.
sora tingcikikik deuih. Kalah hayoh panasaran. Sup wé, tuluy nelek-nelek saban
mobil harérang. Pék dideukeutan. Ambuing, dina jéro mobil téh loba anu guley.
Dina saban mobil aya nu guley. Papasangan. Marotah kacida.
Kiwil ngahégak. Hégak anu lain ieu mah, lain hégak
pédah leumpang. Rut-rét. Satpam keur ngaguher. Mobil angger aroyag. Kantor DPR
ogé bet asa milu oyag. Siga ku lini. Gancang manéhna kebat deui kana trotoar,
leumpang semu dumaregdeg. Dina trotoar, ringkang tina filem tuluy
ngajuringkang. Teu kaampeuh. Hésé mareumanana. Siga panonpoé. Kumaha
mareumanana. Perpustakaan Daérah geus katémbong. Ngagidig semu ngagidir, Kiwil
kebat jeung hégakna. Geblus. Muru tempat maca. Mapayan buku dina saban erak.
Gap. Nyokotan sacokot-cokotna. Tuluy néangan méja. kaparengkeun aya nu kosong
lebah juru. Pas pisan jandéla. Karek ge rek diuk. Gigireunana pisan. Blah juru
pangjuruna. Sapasang rumaja diseragam SMA keur
silih rangkul na panyumputanana, da puguh rada buni kapindingan ku erak
buku.
Bruh-bréh deui. Leuwih cekas. Ayeuna mah tingjuringkang tina saban erak
buku, tina saban buku, tina saban kalimat, tina saban huruf. Ngahurup
lelembutanana. Kiwil hayang nyumput tapi geuningan teu bisa nyumput. Panon
jeung ceulina dikepung timamana. Kiwil rikat muka jandéla. Gajleng. Lumpat
notog-notogkeun karep. Geuning kalah lumpat deui ka palebah taman anu tadi. Joglo
pinuh kunu bobogohan. Anu shooting geuningan can réngsé. Kamérana ayeuna mah
nambahan. Tinggorowok anu nyebut eksen jeung kat. Pamuda gondrong janggotan
jeung wanoja buuk beureum ayeuna mah layeut alahbatan salaki pamajikan. Lebah
airmancur, anu kiwari mah hurung manceran, silihrangsadan, tuluy tinggejebur bari
baluligir. Réa kacida anu keur dishooting bari taranjang. Lebah tihang bandéra
anu gélo keur ucul-ucul sorangan, taranjang, tuluy ngangsrod kana tihang bandéra.
Kiwil geus teu maliré nanaon. Nyemprung ka palebah
kantor pos. Nubrukan veteran anu masih kénéh ngaliud. Méh titotog muru méja
pagawé tempat tadi manéhna ngirim surat.
“Punten, Bu! Pangintunkeun!” cenah haroshos.
“Ngintun naon, Cép? Apan tadi atos sérat mah!”
Pagawe Pos apaleun keneh Kiwil tadi kungsi
ngeposkeun surat.
“Pangintunkeun abdi, Bu! Kamana wé! Mun tiasa mah
kilat khusus, Bu!” Kiwil tambah haroshos. Dumarégdég. Leungeunna ngaragamang
mukaan kancing kamejana sorangan. Dumaregdeg. Tuluy rumpu-rampa kana calanana,
bangun ngudaran beubeur.
Pagawé Pos curinghak. Cengkat. Paroman semu
kaweur. Rurat-rérét ka satpam.
“Enggal, Bu! Kintunkeun abdi, kamana waé! Kamana waé,
asal ulah di dieu!!!” Kiwil teu kungsi lila geus direjengan ku satpam. ***
Kedungpanjang. 2010
Posted by Unknown | File under : CARPON
Sora jam saléndro
ti jero imah heubeul pulas bodas, nu sawaréh jandélana ngaremplong kénéh, ngelentrung salapan kali. Nyalabarkeun
halimpu lalampahan waktu. Ngahontal pakarangan. Jam salapan peuting. Peuting
katiga. Tengah taun.
Bulan ngaringkang
ti blah wétan, nepungan angkrék pulas bungur nu mangkak lebah juru pakarangan. Saurang
wanoja dina korsi, handapeun béntang nu baranang, handapeun langit anu bangun
nabeuh gending nyinglar ulas-ulas méga. Handapeun lénglang nu ngahaleuang. Wanoja
ngaderes angin nyecep. Nyeuseup nu lawung. Cahaya jeung sambuang. Kalimah bulan
mugurkeun ngungun angkrék bungur, pulas nu ngadadak ngawihkeun dalingding tembang
kasmaran lebah peuting katiga. Wanoja ngarasakeun aya nu milu mangkak lebah
jero dadana. Najan teu surti kana basa nu keur lumangsung harita. Rea ungkara
jeung wirahma nu teu mibanda sora. Aya nu sosonoan. Silih hontal. Ngahontal
rohang-rohang simpé lebah haténa. Aya nu usik jadi igel lebah urat-urat
getihna. Ah, mun Manehna geus cunduk
meureun bakal rea kalimah ngarongheap nepikeun harti saban nu usik. Wanoja
gumerentes sorangan.
Wanoja ngarénghap.
Namperkeun rénghap bulan, rénghap angkrék. Nyorangan.
Sinta. Wanoja
tea. Buukna nu galing laun katebak angin, lir daun sapakarangan. Siga gugupay.
Gugupay kanu rek jol nedunan janji anu kungsi kalisankeun. Kitu pisan.
Nyorangan di pakarangan. Nganti nu lawas miang. Miang mawa mangpirang harepan,
nyimpen katineung anu laun-laun rosa jadi kahariwang. Nganti Manehna. Manehna
anu nu baris mulang tengah taun ayeuna. Saukur saregang kalimah, anu lima taun
katukang dipasrahkeun ku Manehna, anu ngagariskeun jirim wanci nu kudu dianti.
Sinta nganti pinasti. Peuting ieu. Tina menit kana menit. Moal boa saban
detikna oge. Tina detik kana detikna asa anggang. Ngangkleung. Lir meuntasan
sagara anu motah.
Sinta ngusap
pangdiukkan kosong gigireunana. Dina korsi ieu pisan. Korsi anu diajangkeun
duaneun. Sinta jeung Manehna salawasna mulan mun pareng bulan purnama. Madungdengkeun
kasakten cahaya anu tohaga ngaruntuhkeun wewesen mongkleng. Kalan-kalan
ngararampa gumiwang langit, mapandekeun jeung ngemprayna dada sewang-sewang.
Mulang. Mulang.
Mulang kana panineungan. Hiji peuting nu
sejen. Peuting katiga nu sejen. Lima taun katukang. Nya harita pisan Manehna
neuteup ku teuteup anu lian ti sasari. Teuteup anu sejen. Anteb. Museur. Tapi
geuning kalah ngalahirkeun kelemeng leuweung keueung. Tangkal-tangkal anu
rarembet dak dumadak ngolebat jeung halimunna anu mupus saban rarambu, mupus
saban jalan. Sakedapan purnama gumeleter. Cahaya paregat tuluy muguran jadi
sirung dimanana, ngungun pulas bungur.
Mimitina tina
korsi. Teuteup eta kiwari bet asa ningker sabudeureun. Jadi teuteup anu leuwih
sejen dina implengan. Aheng. Asa nyalingker dina pucuk tihang bandera, anu
tambang pangerekna bangun katirisan misono kelebet . Ngintip tina saban daun
samoja. Ngeteyep sapanjang pager.
Ah, isarah
kalan-kalan sakadar isarah, Sinta mapalerkeun geter anu teu kabaca rusiahna.
Tuluy ngimpleng-ngimpleng nu baris ngarongheap lebah panto pager. Meneran dinya
pisan. Handapeun neon jalan. Manehna biasana ngajanteng heula. Meungkeut buuk
panjangna. Nyekeskeun korek api, nyeungeut roko. Roko bodas. Mentol. Satutasna
tilu kali nyerebungkeun haseup, nyurungkeun panto beusi. Sora nu ngageret
manjang. Manehna ngalengkah. Kaos hideungna. Calana levisna. Ransel biruna. Tara
kamamana deui. Lempeng muru korsi ieu. Korsi nu kiwari karampa haneut. Lir
haneut awak Manehna. Peuting ieu mah. Geus diniatan mun geus katenjo
rentang-rentang ringkangna Manehna, Sinta arek mapag kaluar. Arek
mangnyeungeutkeun rokona. Arek mangmukaeun panto pager. Arek dikaleng muru
korsi. Arek nembongkeun kasono.
Paduduaan. Ukur
paduduaan. Silihlawungkeun kalangkang nu dipaparinkeun ku bulan. Saban
purnama. Mun paduduaan, Sinta apal, Manehna
bakal ngamimitian murak ringkang nu kajuringkangkeun sabulan campleng. Sorana
semu gumeleter bangun anu nyidem usum tiris. Haseup rokona nu langgeng nyerebung
muput saban kekecapan. Tuluy ngalelebah
naon anu keur diguntrengkeun daun kana daun. Ngimpleng-ngimpleng nu
diharewoskeun angin. Saeusi pakarangan
sok tuluy diwawaas caritana sewang-sewang. Cenah mah tihang bandera miceuceub
tangkal samoja. Ari daun migeugeut taneuh, Bet siga carita anu ngagambarkeun kahirupan.
Tara bosen ngabandungan nu tuluy ngamalirkeun gerentes. Ti purnama ka purnama.
Manehna salawasna ngasongkeun dunya nu anyar keur Sinta, ngasongkeun sagara
jeung parahuna. Balayar. Lalayaran sapanjang peuting, sapanjang purnama..
“Sinta, Bulan
tara jalir kana janjina. Ngan mega kalan-kalan wangkedang memeh usumna.” Kitu
cek Manehna dina geter sora anu sejen. Dina hiji peuting anu sejen tea. Dina
teuteupna anu sejen.
Lima taun. Manehna ngiles. Musna. Taya iber
atawa beja, estuning simpe. Da kitu carek duanana. Sinta ukur mulasara saban
geter anu namper ku jempling. Api-api jempling, saestuna kasono motah ngajaul
jadi pucuk-pucuk guligah nu ngaduruk kalbuna. Saban purnama sapanjang lima
taun. Sinta ukur nepungan korsi nu molongpong. Dadana asa gorowong. Asa aya
ajag nu nu ngagorogotan rohang-rohang dada. Tuluy babaung sapanjang waktu.
Sinta nyirian
wanci ku angkrek pulas bungur. Sakadar nandaan mangsa. Satutasna Manehna miang.
Apan Sinta tuluy dikawinkeun ku kolotna. Siga carita Siti Nurbaya. Dijodokeun.
Teu kungsi amprok heula. Langsung pruk jatukrami. Sakadar tuhu ka sepuh. Taya
bogoh atawa geugeut. Estuning taya geter. Teu burung geuning lungsur-langsar
rumahtanggana. Kalan-kalan Sinta sok ngahelas mun nyanghareupan salakina. Enya.
Salakina teu apaleun nu dipihukumna satemena ukur nyanghareupkeun beungeut.
Sedeng atina apan salawasna muntir ka Manehna. Asa jadi jelema hianat. Ucap
jeung lampah ka salakina, pasalia jeung
hate. Tapi apan cinta teu bisa dipaksakeun. Najan kitu, Sinta beuki tapis nyumputkeun nu
nyangkaruk. Ngayonan anu mikanyaah. Najan kabagjaan ukur semu. Kahirupan
lumangsung lir amis jeung maduna. Malah apan geus batian. Nenden. Geus dua taun
Sinta jadi indung.
Salakina geus
apalaeun mun meneran purnama. Sinta sok menta mulang ka imah indungna. Geus
rupa-rupa alesan. Najan salakina tara tatanya oge, tara tetelepek. Sinta ngarasa
alesan perlu sangkan salakina ngarasa dihargaan, teu asa disapirakeun.
Ukur Indungna
anu sok rada rewel mimitina mah. Dina taun-taun munggaran kawin kituna teh. Ari
kadieukeuna mah bangun anu geus biasa. Tara owel. Paling menta incuna, Nenden, dibawa. Atuh jadi siga ritual bulanan
tungtungna mah, mulang ka imah indungna teh. Saban bulan purnama salakina
leungiteun Sinta. Keur Sinta bulan purnama ukur keur Manehna. Taya nu lian.
“Tos wengi,
Neng. Mending dilebet geura. Urang tutup-tutupkeun nya. Nembe aya telpon ti ramana
Nenden.” Saurang wanoja tengah tuwuh. Ngaronghéap. Neuteup nu anteng di juru
pakarangan. Bet aya kolebat mangkarunyakeun mangsa aya nu mere isarah ku gideug
anu laun. Gideug anu leubeut ku katineung. Mugurkeun carita nu langgeng nganti
lalakon. Gideug nu matak ngarengkog lengkah nu ngadeukeutan.
“Bilih lebet
angin, Bibi mah. Mani nyecep kieu.” Bibi ngarapetkeun baju haneutna. Tuluy
nyacampah angin.
“Antep we, Sumi.
Kawas teu apal kana adatna. Pangmikeunkeun jeket anggur. Moal ngolesed bisi
budakna hayang dipepende oge.” Sora nu mairan ti jero imah. Indung Sinta.
Bi Sumi
ngojengkang deui ka jero. Teu lila geus
mawa jékét. Pek diasongkeun ka Sinta. Sinta nampanan. Jeket disimpen dina
lahunan.
“Euleuh, mani
ngebrak kieu. “ Bi Sumi tanggah. Bulan
buleud. Belenong sem u perak. Bentang-bentang kumariceup. Tingburicak.” Asa
emut nuju alit di lembur, Neng. Ngabungbang. Arameng sareng kalangkang di
buruan. Tetembangan saruka bungah. Ah, ayeuna kari hirup dina panineungan. Panineungan
mah ukur panineungan. Kabagjaan anu moal kasorang deui. Janten rus-ras ieu
teh.”
Sinta mencrong
Bi Sumi anu keur tatanggahan bari nangkeup harigu. Bi Sumi teh anu ngasuh Sinta
ti bubudak. Nyaah jeung bela alahbatan
ka anak sorangan. Ukur Bi Sumi nu apal kajadian Sinta jeung Manehna. Ukur Bi
Sumi anu surti pangna angkrek bungur salawasna aya di juru pakarangan.
“Lima taun, Bi.
Korsi ieu taya nu ngeusian.” Sinta ngagerendeng. Jeket ayeuna mah ditatangkeup.
Bi Sumi kalah anteng api-api teu ngadenge anu hayang dipairan. Geus lawas hayang ngingetan Sinta, anu teuleum dina
carita katineung. Bi Sumi siga anu ngawahan. Antara panineungan
sorangan, jeung kalakuan Sinta anu cek pangrasana mah micinta anu teu
samistina. Bi Sumi hayang Sinta buleud ngambah rumahtangga. Ngubur mangsalawas.
“Lima taun,
Bibi. Asa karek kamari. Asa geus ratusan taun. Ayeuna bakal cunduk. Tingali
kembang mani mangkak kitu, Bi. Bungur siga anggur.” Sinta malikan deui ngeunaan
waktu. Geus lain rusiah jang Bi Sumi mah. Taya rusiah anu disumputkeun.
“Bongan kalah
ngangantos anu teu karuhan, Nu liwat mah, Eneng, keun sina ngaliwat. Keur naon
ngangantos, misono anu teu kudu dipisono. Apan Eneng tos sadrah dipasrahkeun
kanu milari. Kembang, Neng, masrahkeun diri kana seungit, warna mah mung
pupulasan. Apan kucubung oge bungur.” Cek Bi Sumi bari ngareret.
“Purnama ayeuna
Manehna bakal nedunan janjina, Bi. Bakal ngeusian korsi ieu deui.” Sinta rada
kerung ngadenge ucapan Bi Sumi anu siga nganaha-naha. Padahal salila ieu Bi
Sumi tara ieuh baranggeureuh.
“Cek Bibi mah. Teu
aya gunana. Jarak sareng waktu sok ngarobih jalmi, Neng. Mudah-mudahan atuh
Eneng ge tiasa robih.”
“Ari Bibi…”Sinta
mencrong seukeut. Bi Sumi bet ngaraheutan hatena.”ganganti lima taun. Nganganti
kabagjaan. Pamohalan arek ngagilir.”
Bi Sumi nalik
neuteup nu mencrong. Teuteup deudeuh. Kagok asong pikirna. Teu hayang nejo
Sinta mulang deui kana lalampahan mangsa lawas. Teu narima. Apan Bi Sumi oge
anu milu mangaruhan Indungna Sinta, lima taun katukang, sangkan gagancangan ngajodokeun sarta
ngawinkeun Sinta. Malahan api-api nyarita katitipan saur ku bapana Sinta nu
harita gering parna. Pajar hayang nenjo Sinta lakirabi memeh nepi kana waktuna.
“Purnama ieu
saksina, Bi. Asih anu nu pangasihna. Moal jalir kana pasini. Moal hianat kana
rasa. Manehna bakal datang deui siga baheula. Di dieu, di korsi ieu. Carita nu
pegat bakal tatan-tatan lumampah deui.” Sinta miceun beungeut kana bulan nu beuki
luhur. Ningali teuteup Bi Sumi keur Sinta kalah, ngaliarkeun deui teuteup nu
aheng. Rabeng. Lain teuteup lebah peuting nu sejen tea. Ieu mah aheng jeung
seukeut siga matapeso.
“Purnama, Neng. Jang
Bibi. Asa nembrak keneh lalakon puluhan taun kapengker. Nuju ngabungbang
sarukabungah. Namina oge di lembur. Purnama teh diantos pisan. Ngabungbang
janten impian. Samemehna sarerea ngarereka naon anu bakal dilampahkeun
handapeun bulan. Hiji purnama, Harita pisan, Bibi keur tetembangan. Jol sora
pestol tingjaledor. Teu kantos lami aya beja, Bapa Bibi tiwas. Na atuh, breg
teh gorombolan ngaraksuk lembur. Duka gorombolan duka tentara. Duka lamun
garong. Bibi mah teu apal. Nu apal mah, harita sadaya bubar katawuran. Imah-imah diduruk. Bibi anu
keur tetembangan kalah ngahuhuleng. Tuluy ceurik. Tagiwur. Ningali imah Bibi
ngabebela. Indung Bibi oge teu kapuluk. Purnama ngaduruk sagalana, Neng.
Purnama sakadar purnama. ” Bi Sumi laju ngaheruk. Laun ngawih Kembang Tanjung.
“Bibi mah
ngarang!”Sinta rada tegeg. Najan kitu Sinta apal Bi Sumi can kungsi bohong. Ngan teu narima lamun purnama jadi
isarah sedih, atawa tumpurna hirup jeung harepan. Tumpurna cinta. Keur Sinta purnama
hartina Manehna. Taya nu lain.
Bi Sumi
humariring. Ngalengis sorangan. Ngalengis jang dirina. Ngalengis jang Sinta.
Taya deui kalimah anu bisa dikamalirkeun jang ngageuing Sinta.
“Cek bibi mah,
cekap Nenden janten korban Eneng ngeukeuweuk cinta nu sanes samistina. Apan
Eneng harita ngahaja masihan nami eta ka putra Eneng. Naon lepatna pami kanyaah
ditamplokeun ka Nenden.” Bi Sumi mungkas obrolan, sabada aya nu nyalukan ti
jero imah.
“ Bibi….!” Sinta
nyereng. Jep jempe. Baeud lain bobohongan.
Bi Sumi
nuluykeun humariring bari ngalengkah lungse ka jero imah.
Sinta. Bulan.
Angkrek bungur. Langit tambah ngebrak. Pakarangan lir kalang sambuang jeung
cahaya. Marakbak.
Laun aya mobil
sedan ngarongheap. Eureun meneran panto
pager.
Sinta curinghak.
Gentak cengkat. Barang nenjo anu turun tina mobil. Nenjo rimbagna. Jeket murag
tina tangkeupan. Jol lumpat muru nu anyar turun. Mapagkeun nu keur meungkeut
buuk. Sora ngageret. Panto pager muka. Silihteuteup.
“Sinta!”
“Nenden!” Jol
gabrug wae Sinta ngagabrug anu anyar datang. Namplokeun kasono ku rangkulan anu
pageuh siga nu hayang liket salalawasna.
Nenden, Manehna
tea, ngusapan buuk Sinta. Ngantep anu pogot nangkeup raket. Dina mobil aya anu
lampu jerona dicaangkeun aya dua budak buukna parirang nu katenjona kembar
sarta saurang lalaki bule anu nyekel setir. Marerong anu silihgabrug.
“Sinta. Kumaha
damang?” Nenden ngolesedkeun rangkulan. Neuteup Sinta anu masih geugeut teu
bisa nyarita.
“Sinta. Itu
kenalkeun. Oleh-oleh ti Amerika.” Nenden semu heureuy.
“Saha, Nen?”Sinta
ngarenjag. Mencrong Nenden. Mencrong mobil. Bulak-balik. Cangcaya mekar dina
panonna.
“Ari Sinta.
Caroge sareng buah hati atuh. Sinta tos gaduh putra?”Nenden seuri nenjo rindat
Sinta anu bangun reuwas. Rampang-reumpeung.
“Nen!”Sinta
undur-unduran. Tutunjuk ka Nenden anu katenjona hemeng ku kalakuan Sinta.
“Sinta,
kunaon?”Nenden ngadeukeutan anu mimiti nyegruk.
Sinta teu
nembal. Lumpat muru imah bari hujan cimata. Teu malira Nenden anu ngahuleng
lebah pager. Nenden ngarenghap panjang. Cumalimba. Nyusut nu rembes. Masang
imut. Malik deui kana mobil. Cacarita ka salakina. Geblus kana mobil, Mobil
laju lalaunan ninggalkeun pakarangan. Bulan. Jeung Angkrek bungur.
Sora jam saléndro
di jero imah heubeul pulas bodas ngelentrung sapuluh kali. Bangun marengan
Sinta nu ngagukguk kanyenyerian di hiji kamar. Nganti lima taun, manahoreng
saukur nganti matapeso nubles tatu. Nyuuh
siraheun budakna anu tibra dina ranjang. Nenden. Nenden anu sejen.
Bi Sumi humariring
keneh bari meundeut-meundeutkeun jandela.
Sora jam ngahontal pakarangan. Bangun hayang ngelentrung ka alak paul. Hayang
ngajaul purnama.
Purnama peuting
katiga. Tengah taun. Jam sapuluh peuting. Aya nu mugur katebak angin. Carita
cinta nu mikung muguran. Bungur. ***
Langganan:
Komentar (Atom)





