Suatu pagi. Kutemukan kepala ikan asin di pekarangan rumahku. Masih baru, tak ada tanda-tanda sudah dimasak. Mungkin seekor kucing tetangga yang membawanya. Kubiarkan saja. Nanti juga akan ada kucing lain yang datang. Aku hanya menyapukan daun-daun yang berserakan. Mencabuti rumput yang mulai merajalela.
Kulihat seekor lalat mulai datang dan mendengung. Seekor, lalu dua dan tiga. Tiga ekor lalat berpesta di atas kepala ikan asin itu. Kepala ikan asin yang tergolek di bawah pohon jambu. Lama kupandangi. Kemudian muncul dalam benakku laut yang luas. Biru. Ombak dan gelombang.
Seorang nelayan melempar jaring di tengah laut. Sementara nelayan yang lain berderet di pantai, bersiap menarik jaring di bawah terik matahari. Ikan itu barangkali sedang bermain dengan teman-temannya, berenang, atau mungkin sedang bercinta, ketika jaring jatuh ke dalam laut, lantas bergerak menangkap segala yang lengah.
Ikan itu mungkin menyadari kehadiran bahaya, namun tak sempat melarikan diri, atau ia sebenarnya bisa saja menyelamatkan diri, tapi berenang kembali ke dalam jaring untuk menyelamatkan kekasihnya yang terperangkap dan tak bisa lepas. Jaring kemudian membawanya ke pantai. Tangan nelayan menangkapnya. Seperti tangan kematian.
Ikan asin itu telah lama mati sebelum kepalanya terdampar di pekaranganku. Dirubung lalat. Bagi lalat kepala ikan asin itu barangkali seperti bunga bagi kumbang, atau perempuan cantik bagi lelaki. Lalat terus merubungnya. Mendengung.
Tapi tak ada banyak waktu untuk merenungi pesona kematian yang tiba-tiba singgah. Anakku sudah siap untuk diantar ke sekolah. Istriku berdiri dengan seragam kantornya. Kuhabiskan sisa kopi. Menghidupkan motor lantas pergi mengantar orang-orang yang kucintai.
Sekolah anakku tak terlalu jauh, ia masih sekolah dasar, sementara kantor istriku berada tepat di pusat kota. Sudah sejak lama ia mengabdi sebagai pegawai negeri. Sedikit ngebut, tak seperti biasanya, beberapa kali istriku mengingatkan. Namun pikiranku masih tertarik oleh sensasi kepala ikan asin tadi, ingin segera pulang dan menemukan keriangan lalat-lalat.
“Jangan lupa, bayar listrik dan telepon, Kang. Kemarin aku tak sempat bayar. Jangan lupa, nanti kena denda lagi. Rekening yang lamanya ada di atas kulkas.” Begitu amanat istriku sebelum ia melenggang masuk ke pintu kantornya.
Aku mencoba mengingat-ingat tanggal berapa sekarang. Kulihat layar ponselku. Tanggal 20. Ups. Ini sebenarnya tugas istriku. Ia mulai sedikit pelupa, semenjak kutemukan beberapa helai uban di kepalanya. Mungkin terlalu keras berpikir dalam pekerjaannya.
Kupacu sepeda motorku. Ingin segera sampai rumah. Begitu terburu-buru. Seperti hendak memburu sesuatu. Padahal hanya ingin kembali pada suasana yang membetotku di pekarangan. Kepala ikan asin dan lalat itu.
Sesampainya di rumah. Lalat masih berkerumun bahkan semakin banyak. Ada yang hijau dan besar. Seperti kepala suku bagi lalat-lalat yang lainnya. Mendengung. Tapi di mana kepala ikan asin tadi. Tak ada. Yang ada kini malah kepala ayam jago, darahnya masih segar.
Pada darah itulah lalat-lalat berpesta. Kemana kepala ikan asin tadi. Apa mungkin seekor kucing telah membawanya. Lantas dari mana munculnya kepala ayam jago ini. Tergeletak tepat di tempat kepala ikan asin tadi. Kucing. Apalagi. Hanya kucing yang dapat memanjat pagar. Anjing tak mungkin. Atau orang yang iseng. Tak baik berprasangka buruk.
Kepala ayam jago itu biru-biru dan penuh luka. Sebelah matanya pecah. Seperti baru saja berkelahi. Sebuah arena sabung ayam terhampar dalam kepalaku. Riuh penjudi. Teriakan dan uang. Ayam jago itu, yang kepalanya kini menjadi rebutan lalat, kubayangkan sedang bertukar pukulan dengan lawannya. Mematuk, melompat, menendang. Tajam paruh dan runcing taji. Terkenang lukisan Affandi. Bergidik. Darah dan keringat bercampur. Likat. Muncrat.
Leher ayam jago itu tiba-tiba tertikam taji lawannya. Jatuh. Ambruk. Mencoba untuk berdiri. Sempoyongan. Sepasang kakinya bergetar. Tubuh kuyupnya bergetar. Sayapnya lemah terentang. Lehernya patah. Seperti ingin berkokok menyambut maut. Lantas ambruk. Tak bangun lagi. Sorak-sorai. Sumpah serapah. Uang bertebaran. Sepasang tangan meraihnya. Tangan kematian. Kemarahan menyodorkan pisau. Dan inilah, kepalanya sampai di sini. Di pekaranganku. Dalam dekapan lalat-lalat.
Ayam ini belum lama mati. Masih ada sisa air dan darah. Luka yang basah. Terbuang di pekaranganku. Dipuja lalat-lalat. Seperti gula bagi semut, kekuasaan bagi politikus, minuman keras bagi peminum. Lalat tak henti hinggap dan mendengung di bawah rimbun daun jambu.
Dering telepon. Nyaring seperti teriakan istri yang memergoki suaminya selingkuh. Di kepalaku masih arena sabung ayam. Darah dan pertempuran. Bengis kematian. Berat melangkah. Membuka kunci pintu. Sedikit memaki, tapi tetap saja meraih gagang telpoon yang tak henti berteriak.
“Hallo.” Sapaku malas. Gairahku masih tersimpan di pekarangan.
“Hallo. Gimana kerjaannya? Buku itu akan terbit bulan depan.” Ternyata orang dari penerbitan menagih kerjaan.
Gila. Baru seminggu kemarin dia kasih kerjaan, naskah yang amburadul, mengeditnya sama saja dengan bikin buku lagi, entah kapan akan selesainya. Naskah yang payah.
“Sedikit lagi. Akhir bulan aku kirimkan.” Jawabku seenaknya. Lagipula enak saja nyuruh orang kerja cepat.
“Oke jangan sampai telat! Kalo itu kelar nanti aku kasih lagi kerjaan yang lebih banyak. Masih banyak naskah yang mesti diedit. Tenang saja…” panjang sekali orang itu berkata-kata.
Lama-lama suaranya berubah menjadi dengung. Seperti dengung lalat yang mengepung. Masuk dalam lubang telingaku, merubung isi kepala, dan masuk jauh dalam setiap ruang di tubuhku.
Klik. Kusimpan gagang telepon sekalipun suara dengung belum berakhir. Percuma kudengarkan. Dia tak butuh didengarkan, hanya butuh aku bekerja secepatnya. Selesai. Bekerja lagi. Lagi, dan lagi. Percuma memang kudengarkan, pekerjaanku belum selesai, tepatnya, entah kapan selesainya.
Biarlah, batinku, ingin mengusir ingatan tentang pekerjaan itu. Tak baik bekerja dalam kejengkelan, lagipula dengung itu kini bergulung dalam tubuhku. Aku teringat kembali pekarangan. Sebenarnya masih banyak rumput yang belum terjamah. Namun bukan itu alasan yang membuatku kembali berdiri di pekarangan. Aku terkejut. Hampir melompat dan berteriak.
Kepala ayam jago itu tak ada lagi. Tak ada. Seperti nasib kepala ikan asin yang tadi lenyap. Di bawah pohon jambu kini justru tergeletak kepala seekor domba. Besar dan bertanduk. Darahnya menetes dari urat-urat yang terpotong. Dan lalat. Lalat semakin banyak.
Ini bukan kerjaan kucing. Anjing tak mungkin dapat masuk. Kuamati pintu pagar masih tertutup seperti tadi. Apa mungkin ada yang iseng. Ada orang yang masuk diam-diam. Namun dari mana asalnya segala macam kepala ini. Tak mungkin jatuh dari langit.
Kuamati gang yang melingkari pekarangan rumah, rumah-rumah tetangga. Tak ada tetangga yang bekerja di tempat jagal hewan. Tentunya tak gampang untuk mendapatkan kepala domba ini. Ini bukan musim kurban, juga tak ada hajatan yang memungkinkan memotong hewan.
Tiba-tiba ada kengerian. Bukan tidak mungkin ada seseorang yang sengaja, dan sejak tadi memperhatikanku. Diam-diam mengirim kepala-kepala ini. Semacam teror. Tapi untuk apa. Aku tak punya musuh. Bulu kuduk mendadak berdiri. Kenapa isyarat kematian datang beruntun, dan bukan kebetulan. Bukan pekerjaan kucing.
Lalat besar yang berwarna hijau semakin banyak. Lalat-lalat kecil apalagi. Dengung sayapnya memenuhi pekarangan. Memenuhi kepala dan tubuhku. Lalat-lalat itu hinggap pada tanduk, mata, hidung, mulut, hampir menutupi seluruh kepala domba.
Domba. Domba ini pasti besar sekali tubuhnya. Tanduknya saja begitu besar, melengkung ke arah kupingnya. Gagah. Sangat gagah. Dalam kepalaku terhampar padang rumput. Domba ini gagah berlari di padang rumput. Seperti singa. Betina-betina mengaguminya. Berlomba mendapatkan perhatiannya. Namun domba ini lebih senang mengembara dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya. Seperti ingin membedakan aroma rumput di tempat yang satu dengan tempat lainnya. Air sungai yang satu dengan air sungai yang lainnya.
Sampai suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak penggembala yang matanya lebih jernih dari mataair. Domba itu memutuskan untuk ikut digembalakan oleh anak tersebut. Setiap saat memandang mata teduhnya, seperti memandang langit dan seisinya. Hingga datanglah hari itu, hari ketika ia ditangkap oleh tangan-tangan yang lembut. Lantas sebuah benda tajam mengiris lehernya, ia merasa dirinya berulangkali berubah menjadi anak gembala itu. Darahnya mulai mengalir, dan ia seperti sedang berlari dalam diri anak gembala itu. Begitulah, domba itu tersenyum dalam napas terakhirnya, seakan senyumannya adalah senyuman anak gembala itu.
Domba ini baru saja mati. Aku seperti melihat seorang anak dan bapak memanjatkan doa. Saling berpelukan. Airmata mereka melayang, lantas menjelma sebuah kendaraan. Kendaraan yang sangat bening membawa domba ke angkasa. Kematian dalam pengorbanan.
Ah, kepalaku terlalu jauh melambung. Dengung itu mungkin telah menjadi candu yang membawaku ke mana saja aku mau. Seperti mengembara. Kepala demi kepala yang datang ke pekarangan membawaku ke tempat-tempat yang jauh.
Namun, dari mana kepala-kepala itu datang. Siapa yang sengaja menyimpannya dan menggantinya dengan diam-diam. Kematian begitu keras merasuki udara. Siapa. Tak ada tanda-tanda mencurigakan semenjak pagi.
Semenjak kemunculan kepala ikan asin, kepala ayam jago, dan sekarang kepala domba. Kepala apa selanjutnya yang akan datang dan tergeletak di bawah rimbun pohon jambu, dalam pelukan lalat-lalat itu. Aku tak berani membayangkan.
Ada pesan masuk dalam ponselku.
“Jangan lupa jemput Kiara. Bayar listrik sama telepon juga.” Pesan dari istriku, mengingatkan. Aku memang suka lupa segala hal jika sudah bekerja.
Namun aku sekarang tak ingin pergi. Tak ingin pergi ke mana pun. Aku tak ingin pergi dari pekarangan ini. Barang sedetik. Aku tak ingin pergi.
Aku hanya ingin berdiri di sini menjagai kepala domba dan dengung lalat. Sebab jika aku melangkah pergi. Aku khawatir, nanti kepala domba itu akan menghilang, dan kepalaku yang nanti akan berada di bawah rimbun daun jambu. Aku merasa, dengung lalat itu seperti memanggil-manggil namaku, memanggil kepalaku.***
Kedungpanjang, 2012
Kamis, 09 Mei 2013
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 komentar:
Posting Komentar