Kamis, 09 Mei 2013

Posted by Unknown | File under :
Suatu pagi. Kutemukan kepala ikan asin di pekarangan rumahku. Masih baru, tak ada tanda-tanda sudah dimasak. Mungkin seekor kucing tetangga yang membawanya. Kubiarkan saja. Nanti juga akan ada kucing lain yang datang. Aku hanya menyapukan daun-daun yang berserakan. Mencabuti rumput yang mulai merajalela. Kulihat seekor lalat mulai datang dan mendengung. Seekor, lalu dua dan tiga. Tiga ekor lalat berpesta di atas kepala ikan asin itu. Kepala ikan asin yang tergolek di bawah pohon jambu. Lama kupandangi. Kemudian muncul dalam benakku laut yang luas. Biru. Ombak dan gelombang. Seorang nelayan melempar jaring di tengah laut. Sementara nelayan yang lain berderet di pantai, bersiap menarik jaring di bawah terik matahari. Ikan itu barangkali sedang bermain dengan teman-temannya, berenang, atau mungkin sedang bercinta, ketika jaring jatuh ke dalam laut, lantas bergerak menangkap segala yang lengah. Ikan itu mungkin menyadari kehadiran bahaya, namun tak sempat melarikan diri, atau ia sebenarnya bisa saja menyelamatkan diri, tapi berenang kembali ke dalam jaring untuk menyelamatkan kekasihnya yang terperangkap dan tak bisa lepas. Jaring kemudian membawanya ke pantai. Tangan nelayan menangkapnya. Seperti tangan kematian. Ikan asin itu telah lama mati sebelum kepalanya terdampar di pekaranganku. Dirubung lalat. Bagi lalat kepala ikan asin itu barangkali seperti bunga bagi kumbang, atau perempuan cantik bagi lelaki. Lalat terus merubungnya. Mendengung. Tapi tak ada banyak waktu untuk merenungi pesona kematian yang tiba-tiba singgah. Anakku sudah siap untuk diantar ke sekolah. Istriku berdiri dengan seragam kantornya. Kuhabiskan sisa kopi. Menghidupkan motor lantas pergi mengantar orang-orang yang kucintai. Sekolah anakku tak terlalu jauh, ia masih sekolah dasar, sementara kantor istriku berada tepat di pusat kota. Sudah sejak lama ia mengabdi sebagai pegawai negeri. Sedikit ngebut, tak seperti biasanya, beberapa kali istriku mengingatkan. Namun pikiranku masih tertarik oleh sensasi kepala ikan asin tadi, ingin segera pulang dan menemukan keriangan lalat-lalat. “Jangan lupa, bayar listrik dan telepon, Kang. Kemarin aku tak sempat bayar. Jangan lupa, nanti kena denda lagi. Rekening yang lamanya ada di atas kulkas.” Begitu amanat istriku sebelum ia melenggang masuk ke pintu kantornya. Aku mencoba mengingat-ingat tanggal berapa sekarang. Kulihat layar ponselku. Tanggal 20. Ups. Ini sebenarnya tugas istriku. Ia mulai sedikit pelupa, semenjak kutemukan beberapa helai uban di kepalanya. Mungkin terlalu keras berpikir dalam pekerjaannya. Kupacu sepeda motorku. Ingin segera sampai rumah. Begitu terburu-buru. Seperti hendak memburu sesuatu. Padahal hanya ingin kembali pada suasana yang membetotku di pekarangan. Kepala ikan asin dan lalat itu. Sesampainya di rumah. Lalat masih berkerumun bahkan semakin banyak. Ada yang hijau dan besar. Seperti kepala suku bagi lalat-lalat yang lainnya. Mendengung. Tapi di mana kepala ikan asin tadi. Tak ada. Yang ada kini malah kepala ayam jago, darahnya masih segar. Pada darah itulah lalat-lalat berpesta. Kemana kepala ikan asin tadi. Apa mungkin seekor kucing telah membawanya. Lantas dari mana munculnya kepala ayam jago ini. Tergeletak tepat di tempat kepala ikan asin tadi. Kucing. Apalagi. Hanya kucing yang dapat memanjat pagar. Anjing tak mungkin. Atau orang yang iseng. Tak baik berprasangka buruk. Kepala ayam jago itu biru-biru dan penuh luka. Sebelah matanya pecah. Seperti baru saja berkelahi. Sebuah arena sabung ayam terhampar dalam kepalaku. Riuh penjudi. Teriakan dan uang. Ayam jago itu, yang kepalanya kini menjadi rebutan lalat, kubayangkan sedang bertukar pukulan dengan lawannya. Mematuk, melompat, menendang. Tajam paruh dan runcing taji. Terkenang lukisan Affandi. Bergidik. Darah dan keringat bercampur. Likat. Muncrat. Leher ayam jago itu tiba-tiba tertikam taji lawannya. Jatuh. Ambruk. Mencoba untuk berdiri. Sempoyongan. Sepasang kakinya bergetar. Tubuh kuyupnya bergetar. Sayapnya lemah terentang. Lehernya patah. Seperti ingin berkokok menyambut maut. Lantas ambruk. Tak bangun lagi. Sorak-sorai. Sumpah serapah. Uang bertebaran. Sepasang tangan meraihnya. Tangan kematian. Kemarahan menyodorkan pisau. Dan inilah, kepalanya sampai di sini. Di pekaranganku. Dalam dekapan lalat-lalat. Ayam ini belum lama mati. Masih ada sisa air dan darah. Luka yang basah. Terbuang di pekaranganku. Dipuja lalat-lalat. Seperti gula bagi semut, kekuasaan bagi politikus, minuman keras bagi peminum. Lalat tak henti hinggap dan mendengung di bawah rimbun daun jambu. Dering telepon. Nyaring seperti teriakan istri yang memergoki suaminya selingkuh. Di kepalaku masih arena sabung ayam. Darah dan pertempuran. Bengis kematian. Berat melangkah. Membuka kunci pintu. Sedikit memaki, tapi tetap saja meraih gagang telpoon yang tak henti berteriak. “Hallo.” Sapaku malas. Gairahku masih tersimpan di pekarangan. “Hallo. Gimana kerjaannya? Buku itu akan terbit bulan depan.” Ternyata orang dari penerbitan menagih kerjaan. Gila. Baru seminggu kemarin dia kasih kerjaan, naskah yang amburadul, mengeditnya sama saja dengan bikin buku lagi, entah kapan akan selesainya. Naskah yang payah. “Sedikit lagi. Akhir bulan aku kirimkan.” Jawabku seenaknya. Lagipula enak saja nyuruh orang kerja cepat. “Oke jangan sampai telat! Kalo itu kelar nanti aku kasih lagi kerjaan yang lebih banyak. Masih banyak naskah yang mesti diedit. Tenang saja…” panjang sekali orang itu berkata-kata. Lama-lama suaranya berubah menjadi dengung. Seperti dengung lalat yang mengepung. Masuk dalam lubang telingaku, merubung isi kepala, dan masuk jauh dalam setiap ruang di tubuhku. Klik. Kusimpan gagang telepon sekalipun suara dengung belum berakhir. Percuma kudengarkan. Dia tak butuh didengarkan, hanya butuh aku bekerja secepatnya. Selesai. Bekerja lagi. Lagi, dan lagi. Percuma memang kudengarkan, pekerjaanku belum selesai, tepatnya, entah kapan selesainya. Biarlah, batinku, ingin mengusir ingatan tentang pekerjaan itu. Tak baik bekerja dalam kejengkelan, lagipula dengung itu kini bergulung dalam tubuhku. Aku teringat kembali pekarangan. Sebenarnya masih banyak rumput yang belum terjamah. Namun bukan itu alasan yang membuatku kembali berdiri di pekarangan. Aku terkejut. Hampir melompat dan berteriak. Kepala ayam jago itu tak ada lagi. Tak ada. Seperti nasib kepala ikan asin yang tadi lenyap. Di bawah pohon jambu kini justru tergeletak kepala seekor domba. Besar dan bertanduk. Darahnya menetes dari urat-urat yang terpotong. Dan lalat. Lalat semakin banyak. Ini bukan kerjaan kucing. Anjing tak mungkin dapat masuk. Kuamati pintu pagar masih tertutup seperti tadi. Apa mungkin ada yang iseng. Ada orang yang masuk diam-diam. Namun dari mana asalnya segala macam kepala ini. Tak mungkin jatuh dari langit. Kuamati gang yang melingkari pekarangan rumah, rumah-rumah tetangga. Tak ada tetangga yang bekerja di tempat jagal hewan. Tentunya tak gampang untuk mendapatkan kepala domba ini. Ini bukan musim kurban, juga tak ada hajatan yang memungkinkan memotong hewan. Tiba-tiba ada kengerian. Bukan tidak mungkin ada seseorang yang sengaja, dan sejak tadi memperhatikanku. Diam-diam mengirim kepala-kepala ini. Semacam teror. Tapi untuk apa. Aku tak punya musuh. Bulu kuduk mendadak berdiri. Kenapa isyarat kematian datang beruntun, dan bukan kebetulan. Bukan pekerjaan kucing. Lalat besar yang berwarna hijau semakin banyak. Lalat-lalat kecil apalagi. Dengung sayapnya memenuhi pekarangan. Memenuhi kepala dan tubuhku. Lalat-lalat itu hinggap pada tanduk, mata, hidung, mulut, hampir menutupi seluruh kepala domba. Domba. Domba ini pasti besar sekali tubuhnya. Tanduknya saja begitu besar, melengkung ke arah kupingnya. Gagah. Sangat gagah. Dalam kepalaku terhampar padang rumput. Domba ini gagah berlari di padang rumput. Seperti singa. Betina-betina mengaguminya. Berlomba mendapatkan perhatiannya. Namun domba ini lebih senang mengembara dari satu padang rumput ke padang rumput lainnya. Seperti ingin membedakan aroma rumput di tempat yang satu dengan tempat lainnya. Air sungai yang satu dengan air sungai yang lainnya. Sampai suatu ketika ia bertemu dengan seorang anak penggembala yang matanya lebih jernih dari mataair. Domba itu memutuskan untuk ikut digembalakan oleh anak tersebut. Setiap saat memandang mata teduhnya, seperti memandang langit dan seisinya. Hingga datanglah hari itu, hari ketika ia ditangkap oleh tangan-tangan yang lembut. Lantas sebuah benda tajam mengiris lehernya, ia merasa dirinya berulangkali berubah menjadi anak gembala itu. Darahnya mulai mengalir, dan ia seperti sedang berlari dalam diri anak gembala itu. Begitulah, domba itu tersenyum dalam napas terakhirnya, seakan senyumannya adalah senyuman anak gembala itu. Domba ini baru saja mati. Aku seperti melihat seorang anak dan bapak memanjatkan doa. Saling berpelukan. Airmata mereka melayang, lantas menjelma sebuah kendaraan. Kendaraan yang sangat bening membawa domba ke angkasa. Kematian dalam pengorbanan. Ah, kepalaku terlalu jauh melambung. Dengung itu mungkin telah menjadi candu yang membawaku ke mana saja aku mau. Seperti mengembara. Kepala demi kepala yang datang ke pekarangan membawaku ke tempat-tempat yang jauh. Namun, dari mana kepala-kepala itu datang. Siapa yang sengaja menyimpannya dan menggantinya dengan diam-diam. Kematian begitu keras merasuki udara. Siapa. Tak ada tanda-tanda mencurigakan semenjak pagi. Semenjak kemunculan kepala ikan asin, kepala ayam jago, dan sekarang kepala domba. Kepala apa selanjutnya yang akan datang dan tergeletak di bawah rimbun pohon jambu, dalam pelukan lalat-lalat itu. Aku tak berani membayangkan. Ada pesan masuk dalam ponselku. “Jangan lupa jemput Kiara. Bayar listrik sama telepon juga.” Pesan dari istriku, mengingatkan. Aku memang suka lupa segala hal jika sudah bekerja. Namun aku sekarang tak ingin pergi. Tak ingin pergi ke mana pun. Aku tak ingin pergi dari pekarangan ini. Barang sedetik. Aku tak ingin pergi. Aku hanya ingin berdiri di sini menjagai kepala domba dan dengung lalat. Sebab jika aku melangkah pergi. Aku khawatir, nanti kepala domba itu akan menghilang, dan kepalaku yang nanti akan berada di bawah rimbun daun jambu. Aku merasa, dengung lalat itu seperti memanggil-manggil namaku, memanggil kepalaku.*** Kedungpanjang, 2012

Selasa, 30 April 2013

Posted by Unknown | File under :
(1)
Sapeupeuting gelap teu eureun. Guludug tingbeledug. Langit gumuruh. Siga anu rék runtuh saharita. Saréréa ngaringkeb manéh jeroeun imah. Saréréa? Horéng aya nu ngajanteng lebah Pos Ronda. Sapeupeuting ngabedega mencrong hujan, nyanghareupan langit nu keur motah. Saban gelap ngabeledag manéhna ngacungkeun peureup buleud. Peureup buleud nu beuki lila beuki ngeleter.
“Merdékaaaa!” kitu jorowokna. Ngan samerdéka-merdékana anu kaluar tina biwirna. Kalan-kalan sok kadéngé ogé ngagerendeng humariring bari dumarégdég.
Ngan édas, da puguh hujan silantangan. Sora ukur ngulibek di pos ronda. Teu nepi kamamana. Ukur pulang-anting dina dirina. Sorana teu bisa ngungkulan sora hujan, sora gelap jeung guludug. Sorana ukur soranganeun.
Sorangan. Sirahna dibeungkeut kaén merah putih. Dina dadana anu taranjang, ngajeblag tato Garuda Pancasila. Leungeun kencana nyekel bambu runcing. Ari leungeun katuhu teu eureun meureup ka langit. teuing meureupan saha. 

(2)

            Lebah dieu ogé silantangan. Alun-alun. Alun-alun siga anu rek kakeueum. Lebah jalan aspal nu laju ukur cai. Lampu-lampu kakeueum hujan. Toko-toko siga ngahodhod. Gedong-gedong ukur belegbeg, siga ririwa. Taya nu ngulampreng. Aéh, geuning aya nu ngajanteng handapeun caringin kurung. Sapeupeuting cungelik katirisan. Ngemitan langit, nuguran gumuruh. Mun pareng aya kilat ngabarasat. Awakna oyag-oyagan.
“Yun, ayun ambing…”kitu hariringna. Sakitu-kituna. Ieu mah biwirna anu ngeleter téh, geunteul, ngeleter teu eureun-eureun. Buuk gimbalna méh rancucut. Pakéan rawékna baseuh. Kitu deui aisan nu tuluy usik, ayun ambing. Aisan nu duka naon eusina. Moal boa kanyaah nu kari raheutna. Boa kétah.
Ngahariring keur saha. Da puguh saukur haréwos nu méh pegat-pegat.  Teu wasa ngahontal daun. Kalah ngalayang kana jukut anu becrék. Meureun nyerep kana akar. Boa kétah. Nu puguh mah hariring diseuseup ku sorangan.
Sorangan. Noroktok jeung tulang sorangan.

(3)

Di terminal sarua waé. Hujan, gelap jeung guludug. Komo lebah dieu mah, leuwih saheng jeung gumuruh. Bubuhan hujan ninggang kenténg séng. Mobil tingjarepat siga bangké. Aya kénéh jelema nu  ngaringkuk luhureun kardus. Siga nu talibra ngeukeuweuk impian, duka lamun ngeukeuweuk ajal. Talibra? Manahoréng aya nu norowéco di hiji juru. Bari peureum. Curukna acung-acungan. Leungeun kéncana nyekel sapu nyéré. Kalan katingalina siga nu keur ngahitar. Kalan siga anu keur nyapuan awak sorangan. Nyapuan diri sorangan.
“Pun sampun…”ih, sada ngarajah semu ngalindur. Teu kebat da éta jeung éta wé. Siga saawak-awak ngeleter. Awak nu bégang, tinggal daki jeung budug. Biwirna siga nu imut, siga anu humarurung. Sakiceup seuri, sakiceup ceurik. Teu diamparan kardus da manéhna mah cicing jeroeun kardus. Kardus badag nu geus pejét. Nengah awakna nu katingali. Bubuhan manéhna sila andekak. Siga dalang. Sapu nyéré sok tuluy diwayang-wayang, osok ogé tuluy ditatangkeup.
Rajah naon atuh. Geuningan teu kebat sok komo tamat.  Sakadar nyerebung dina kardus. Taya kebul-kebul nu muput alakpaul. Saukur muguran jero gumuruh. Meureun kebek muput dada sorangan. Dada nu ragas. Nyarangsa dina iga. Iga. Iga sorangan.
Sorangan. Pepeta bari peureum.

(4)

Geuningan di dieu mah hujan bet siga aya nu ngabagéakeun. Pajaratan. Saban kilat ngempray sajorélatan. Taneuh beureum. Tetengger jeung tetengger. Sidik di dieu mah nyaan talibra. Da puguh geus béda alam apan pangeusina ogé. Kétah, palangsiang keur tingselendep ataawa ngulincer dina samoja nu keur marangkak bodas. Sok ngagurilap mun kilat ngajorélat. Apan taya nu hirup lebah dieu mah. cek saha? Itu, aya nu keur ngagecruk maculan taneuh. Ngabelegbeg. Sora gecrukna pacul nyelendep. Siga wirahma jeroning hujan. Gecruk. Gecruk. Nyulusup siga lagu jeroning mongkléng. Poék apan ari pajaratan mah, da tara aya nu pirajeuneun masang lampu. Tapi bet asa jadi karasa buni.
“Pangjugjugan! Pangjugjugan…!” Sora nu maca sajak. Gurunggusuh semu rumahuh. Ngan sakecap-kecapna. Bulak-balik. Lamokot ku belok. Saawak-awakna taneuh beureum. Bobolokot. Kalan-kalan nyakakak, kalan-kalan ngagerung humaregung. Laju ngagecruk.
Sajak naon atuh. Kalah ragot jeung taneuh beureum. Sakecap, ukur sakecap. Némpasan hujan, murag kana liang nu mimiti ngarandakah. Teu ieuh ngungkulan gumuruh, kalah leyur jeung cileungcang. Boa mulang kana kana ragana sorangan. Raga nu teu eureun nyieun liang. Boa ngaruang sorangan.
Sorangan.

(5)

Sapeupeuting gelap teu eureun. Guludug tingbeledug. Langit gumuruh. Siga anu rék runtuh saharita. Saréréa ngaringkeb manéh jeroeun imah. Saréréa? Horéng aya lumpat ti lebah Pos Ronda. Bubulucun. Buligir. Lumpat mapay-mapay gang. Lumpat tataranjang ka lebah jalan. Bari ngajorowok bangun hayang ngetrokan saban imah. Bangun hayang ngahudangkeun anu keur ngogojod dina impian. Duka lamun keur ngetrokan diri sorangan, ngahudang-hudang diri sorangan.  Manéhna ngajorowok bari ngacungkeun bambu runcing. “Sudah bébas negeri kita….!”



Kedungpanjang 2011



Senin, 29 April 2013

Posted by Unknown | File under : ,
            :  7, 3 skala richter

Kami ngajentringkeun girimis sapeupeuting, ngiciprit sapanjang rengat wangunan nu marapat saampar kota. Kana gang-gang anu ngahunyudkeun ruruntuhan, jalan-jalan anu rekah sarta taman anu pasiksak. Kami hayang nyiram tapak kekecapan salira anu ngarongheap tadi sore, sarongheapan ngeplokeun waktu, ngarieg-rieg tihang langit.

Kami ngajentringkeun girimis sapeupeuting, maluruh lulurung dina  saban padalisan sajak, mapay lolongkrang kalimah, nyasar sela-sela kecap, ngarampaan jungkrang hurup. Kami hayang sumerep kana akar kekecapan salira nu ngalilirkeun lini wanci, ukur tilu kecap dina itungan detik, apan harita detik ngajanggelek gegendir, sarta kahirupan muruluk saampar kota kami.

Kami ngajentringkeun girimis sapeupeuting, ruruhitna ngabayak lebah sajadah lampah, mulang deui niruk raga. Lir rebuan dunga anu runtuh jeung suhunan masjid,  kami kemit jeung daun jeung angin, ngurilingkeun wening sakurilingbungking malar kekecapan salira kabaca genclangna kapulut halimpuna.

Ciamis, 13 ramadhan  1430     
Posted by Unknown | File under : ,
        : Wida Waridah

Lauk-lauk salawasna nyaring ngaderes janari, kocépatna ngeleterkeun ayat-ayat nu ngaborélakkeun canémbrang purnama. Salira ngéjah urat-urat cahaya urat-urat cai urat-urat angin, ngalenyepan geter surat katresna bari ngaragap nu nguliat dina rohang-rohang dada. Sora salira lir haririring anu nyurup kana pancuran waktu, madakeun rénghap kana genclang, ketug kana curulung nu nyiram kalbu.

Lauk-lauk teu mijah ukur ngocépat jeung gurilap. Lir nyarungsum deui lembur anu lawas humarurung, kami maluruh gebur dina saban daun anu khusyu nguramasan saban serat-seratna, bangun nafakuran sésa gedur beurang anu ngahuru ragana, bet kapireng haréwos kasono muguran kana émpang, hayang lebur dituguran lauk. Kami gumuruh jeroning jempling marengan salira nu beuki anteng ngagalindengkeun kereteg langit jeung bumi, ngaleugeut geugeut teuteup nu ngarabengkeun rebuan kalimah rusiah ti awang-awang ka émpang, ti émpang ka awang-awang.

Urang  rerencepan ngantelkeun geunteul narabas kamalir dina nadi jeung rénghap, dina dada jeung raga, ngudaran saban anu nyangsang. Taranjang mirupa lauk, ngojayan émpang nu lian, purnama anu lian. Nyaring ngaderes janari, ngajaring wening birahi. Nyirungkeun daun-daun hirup, bekel lumampah mulang ka kota. ”Purnama salawasna bakal langgeng gumiwang, urang  ngabungbang saban peuting  maca lampah sapanjang mangsa, urang baris mipit nyaring!”

2009
Posted by Unknown | File under :
Hah. Tuuuiiiiiiiit. Sora hapé ngajuit. Sada bom rék ngajelegur téa. Ngajuit anu kasabarahpuluhkalina. Gap. Gancang dibaca. Dimana, Ayang? Angger ari geus kieu téh. Teu kaop wé. Jauh saeutik pasti ngerewih. Hayang panggih lah, hayang dianteur lah. Jeung hayang-hayang séjénna. Padahal karék tadi silihgaléntoran. Acan lila. Ukur jam-jaman. Kagok ayeuna mah. Maca can tamat. Hanca ti jaman naon. Teu kaur dek. Sok aya we gogodana.
Hapé dibalangkeun. Dekul deui kana buku. Hapé ngajuit deui. Ukur direrét. Asa rada keuheul. Nambahan sabaraha kaca. Juit deui. Ngarawél bantal. Ditindihkeun kana hapé nu kekejetan. Jep.  Uleng nunutur aksara jeung kecap. Lieur sabenerna mah maca buku téh. Loba kerungna. Sabab meusmeus kalimah ésémés anu tadi nyayang dina lambaran anu dibaca. Dimana, Ayang? Eta geus kadéngé deui waé ngajuit handapeun bantal. Siga beurit nu kabekem. Nyel téh. Hapé dicokot tuluy dibantingkeun. Nenggel pisan kana tembok. Brak. Mancawura.
Tapi nu ngajuitna geuning teu leungit. Kalah leuwih kerep. Kerep. Juat-juit. Ti mamana. Tina saban sesemplékan hapé. Kasebelan. Buku dibalangkeun. Ngotéténg néangan sapu. Disapukeun sina ngahiji. Sup kana kantong kérésék. Gurudug ka pipir imah. Mawa pacul. Gecruk. Gecruk. Nyieun lombang sabot nu juat-juit tuluy maceuh dina kantong kérésék. Gebrus diasupkeun kana lombang. Dikubur saharita kénéh.
Rénghap. Asa ku arahéng kieu poé téh. Tacan gé réngsé neundeun pacul. Jol aya deui sora ngajuit. Pipir imah pinuh kunu sora ngajuit. Taneuh. Tangkal. Dangdaunan. Tingjaruit. Najis. Naha jadi kieu carita téh. Eusi ésémés. Anu tadi. Dimana, Ayang? Bét kabaca di mamana. Aya di mamana. Kamana beungeut nyanghareup. Di lebah dinya aya kalimah tadi.  Dipeureumkeun kalah leuwih kadeuleu.
Rurusuhan asup deui ka imah. Reuwas. Boa pangaruh lapar, tetempoan jeung dédéngéan jadi teu eling. Tapi geuning nya kitu. Jero imah gé pinuh kunu ngajuit. Sada bom rék ngabeledug di mamana. Dina katél. Panci. Kompor. Piring. Gelas. Bari ngajepat kalimah eusi ésémés. Geblus ka kamar mandi. Kitu kénéh. Keran. Gayung. Eunteung. Wadah sabun. Sikat gigi. Bak. Toilét. Ngajuit bari dipinuhan aksara. Leuwih-leuwih ti dijungjurigan ieu mah.
Hiji-hijina jalan nya kudu nepungan anu ngirim ésémésna. Meureun bakal eureun sagalana.  Bakat ku kaweur méh waé kebat mangprét ka luar. Ari ras ukur dikokolor jeung kaos sangsang.  Gancang lumpat deui ka kamar. Orokaya. Nu ngajuit geuning nyiliwuri di mamana, nu ngajepat ngaririwaan di mamana. Saimah-imah. Mani asa rék sabeled-beledugna wé bom teh. Hayang nyokél panon jeung nyocokan ceuli. Ngadaregdeg ngajéwang baju jeung calana anu ngagantung dina kapstok. Kapstok ogé ngajuit. Barang rap kana baju jeung calana. Kasebelan. Baju jeung calana oge sarua. Ngajuit. Tapi da kumaha deui. Maenya kudu tataranjang. Asa maké baju bom anu pinuh ku kalimah ésémés. Boa bakal kabaca ku saréréa. Paduli. Asa-asa geus asup kana gélo ieu téh.
Belenyeng. Mapay gang. Teu sirikna hayang lumpat satarikna. Rék teu kitu kumaha da puguh sagalana ngajuit jeung ngajepat. Gang pungkal-péngkol. Muringkak. Da saban kadéngé ngajuit. Saban tingkerejet sagalana. Tuluy ngajepat kalimah.
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Héh. Kaluar ti sungut gang. Ngadadak poho kana jalan. Gusti. Kebek hayang geura nepungan SI Ayang. Tapi kamana. Kénca. Katuhu. Lempeng. Kamana. Naha bet ngadadak poho. Diubek eusi sirah nu aya ukur nu ngajuit jeung kalimat anu ngajepat. Tobat. Ieu sirah naha jadi kieu. Cilaka. Beungeutna ogé teu nyampak. Na kamana ingkahna ingetan. Nénjo mobil bet siga hapé anu tingsalebrut. Balap. Patarik-tarik. Silihsiap. Bari ngajuit tarik pisan. ngajepat atra pisan. Jalma teu jauh béda. Tingaraleut di trotoar. Aya nu ngagedig. Nu lénglé. Nu pacekel leungeun. Nu angkaribung. Nu ngadorong roda. Nu ngalamun. Anu hohoak. Kabéhanana bet mirupa hapé. Rupa-rupa hapé.
Ayang, na dimana ari salira, Ayang? Tibalik. Ayeuna jadi sasambat kanu tadi nyambat. Da jeung enyana apan ieu mah kudu tepung. Sangkan sagalarupana mulang deui ka asal. Panyakit moal cageur lamun teu panggih jeung akar lantaranana. Ti dinya sungapanana. Tapi kudu kamana. Kota  kalah asa ngepung kieu. Suku ngaléngkah sakahayangna. Remen rundag-randeg. Da puguh apan tetempoan jeung dédéngéan kitu béhna. Teu kaur ngaléngkah. Ngagebeg jeung ngaranjug. Jalma. Mobil. Gedong. Kabéhanana mirupa hapé. Nu ngajuit. Ngerejet. Bréh kalimah nu éta-éta kénéh.
Anjog ka parapatan. Luut-léét késang. Leuleus awak. Leuleus haté.  Boa ieu anu disebut gélo téh. Méh ngalémpréh handapeun jalan layang. Tipepereket meureumkeun panon jeung nutupan ceuli ku leungeun. Sanajan angger taya bédana. Kalah tambah parna. Nyaan, hayang nyokél panon jeung nyocokan liang ceuli. Hayang nyoplokeun panon jeung ceuli. Naon hartina panon jeung ceuli ari sakadar nyiksa mah.
Ayang, Dimana, Ayang? Jojorowokan geus puluhah kali. Genggerong nepika garing. Tapi taya nu némbalan. Rét kana lampu beureum. Héjo. Konéng. Boa dijero lampu beureum. Geuning loba nu tingkurunyung dina kerejep lampu beureum. Monyét luncat ti dinya méméh tuluy jadi hapé nu runyah-renyoh. Kurunyung budak leutik mawa tanggungan, mawa koran, mawa gitar, mawa dagangan. Monyét jeung budak leutik tingkurunyung tina kerejep lampu beureum. Tingkalayang. Barang nincak aspal jleg wé jaradi hapé. Ngajuit. ngerejet. Pinuh ku aksara. Sésélékét dina antayan hapé nu minuhan jalan.
Teu talangké. Térékél naékan lampu beureum. Meureun nyumput di dinya. Can ogé laksana. Sora nu tingjaruit beuki tarik. Loba leungeun ngarawél awak. Diguguyeng. Dibalangkeun. Nangkarak bengkang dina trotoar. Lampu beureum kaburu jadi hejo. Bangkawarah. Asa enya si Ayang cicing di dinya. Apan kungsi ngajak nguriling ti lampu beureum ka lampu beureum. Niténan saban anu ngarenghap jeroeun lampu beureum.
Ngagidir. Gap kana batu. Belewer. Malédog lampu beureum nu pareum. Hayang sina peupeus. Hayang nyaho jerona. Na atuh gampleng téh. Bangkieung.  Gancang lumpat barang nénjo aya hapé maké baju pulisi. Ngajuitna alahbatan naon.
Derengdeng deui. Asa diuudag rébuan hapé. Nu ngajuitna siga bom arék ngabeledug. Lumpat sakalumpat-lampét. Geus teu mireungeuh tincakeun. Padu deregdeg wé. Lumpat teu eureun-eureun. Asa hayang nepi ka tungtung bumi. Asa hayang nepi ka tempat pangsuninna. Hayang reureuh tina nu ngajuit. Ngerejet. Ngajepat.   
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang? Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?
Hoh.  Tipaparétot kénéh. Poé geus reup-reupan. Galuang-galéong. Titajong tarik pisan. jurahroh. Irung nyium taneuh. Taneuh beureum. Gundukan taneuh beureum. Réa kembang luhureuen taneuh beureum téh. Horéng kuburan anyar. Gancang cengkat bari ngabirigidig. Ieung geuning astana. Naha bet jol ka dieu. Kuburan mani neba. Kuburan kota. da taya iuh-iuh tatangkalan. Meureun tadi titajong kana tetengger.
Rénghap. Asa jempling. Rut-rét. Enya jempling pisan. boa Si Ayang aya di dieu. Pédah wé ngadadak jempling. Asa rék nepi kana nu dijugjug. Enya, siah. Pasti di dieu. Keur susulumputan. Hayang ucing sumput. Siga lamun keur otél paduduaan. Apan sok ngadadak ngaleungit hayang ditéangan.
Arék dihongkeun siah. Mun kapanggih rek langsung ditangkeup jeung dikerekeb. Bongan ngaririwaan. Keteyep mapayan unggal makam. Dipapay hiji-hiji bisi nyumput satukangeun tetenger. Atawa témbokan makam anu rada luhur. Dipapay. Imeut. Taya nu kaliwat. Sakapeng nepika ngalangsud bakat ku sieun kaperego kunu nyumput. Kalan bari ngaharewos. “Dimana, Ayang?”  Harewos anu semu haroshos. Hayang geura tepung.
Meh tujuhbalikan. Eta astana dikuriling. Lebeng. Geuning teu kapanggih. Mulang deui kana kuburan anyar. Jol dipapag sora nu ngajuit. Kuburan ngerejet. Dina tetengger ngajepat kalimat nu éta-éta kénéh. Tah, siah. Di dieu. Meureun méré isarah. Kabeneran. Rét aya singkup ngagolér teu jauh ti kuburan éta. Sigana tinggaleun sabada ngurebkeun. Teu talangké. Kuburan anyar digali deui. Moal salah di dieu. Ayang, salira bet nyumput lebah kuburan.
Gecruk. Gecruk. Peuting mimiti ngaringkeb. Lampu mimiti caraang ti lebah jalan. Teu karasa ngagali geuning geus jero. Nu ngajuit beuki sidik jeung kerejetna. Gecruk. Gecruk. Beuki jero beuki meredong. Barang kadéngé ngageduk. Tah, geuning. Nepi ogé. nyangkeredong dina meredong. Samar-samar boéh. Gancang dirawél. Dibedol. Dipangku. Beuki ngajuit, beuki ngerejet. Ayang, salira naha bet nyumput dina boéh. Hésébéléké dipanggul ka luhur. Ngaliwatan gundukan taneuh nu uruy.
Boéh lalaunan dibuka. Ari bréh. Horéng hapé saukuran jelema. Hapé nu geus jadi bangké.
Ayang, Ari Ayang dimana? Gorowok deui.
Harita. Ti unggal makam kadéngé meh rampak tingjaruit. Tingkerejet. Kalimah nu éta-éta kénéh ngajepat dina saban tetengger. Harita bulan kumarayap nyaangan astana. Bulan di langit karérét ngerejet ogé. langit ngajuit jeung ngerejet tuluy kalimah éta téa minuhan langit peuting. Nya, Harita ogé aya nu tingkedepruk ngarungkup awak ku karung.
Tuuuuiiiiiiit. Dimana, Ayang?..... ****

Kedungpanjang 2011
Posted by Unknown | File under :
Pabeubeurang. Kiwil kaluar ti kantor pos. Pareng bubaran budak sakola. Budak SMP pabeulit, rarécét. Tukang béca, tukang ojég. Angkot ngaretém. Saurang pulisi budayut  paciweuh megatan aleutan mobil sangkan nu meuntas laluasa.
Taman kota keur pésta sorot panonpoé. Airmancurna pareum. Kembang-kembang jeung daunna layu. Iklan roko burahay. Dina trotoar katénjo aya nu keur shooting. Saurang pamuda gondrong janggotan keur ngarayu wanoja anu biwirna beureum, buukna beureum. Beureum siga warna iklan roko. Nu nyekel kaméra nyusutan késang.
“Ekseeeen!!!!” cek nu ditopi ngagorowok mapakan sora klakson jeung knalpot.
Pamuda gondrong ngaléndéan wanoja. Wanoja jejebris. Pamuda gondrong ngabudalkeun kekecapan. Leungeunna pepeta. Wanoja muringis.  Aya aki-aki maké seragam véteran leumpang hareupeun nu mawa kaméra.
“Kaaaaaat!!!!” nu ditopi ujug-ujug médéngkréng. Ngababetkeun topi. Saréréa milu médéngkréng. Aki-aki haré-haré. Leumpang tumaninah muru tukang ojég nu keur anteng lalajo shooting. Clak. Biur. Nu shooting masih tingpédéngkréng. Saréréa nurutan nu maké topi. Pamuda gondrong pangangguran bari noél pipi wanoja beureum. Si wanoja sakilat malik nampiling. Ngajenggut janggotna. Gur-ger.
Kiwil nyéréngéh bari leumpang ka pos pulisi anu agréng bangun hayang nyaingan agréngna masjid agung. Agréngna gedung bupati. Enya sawaréh pulisi nyaralsé di jero rohangan. Puguh atuh da aya AC sagalarupa. Keur peujeuh mah pernahna dina iuh-iuh caringin kurung di juru alun-alun. Raos kacida.
Pos pulisi ukur diliwat. Bati kabita hayang ngiuhan.
Kiwil ngajanteng sakedapan handapeun tihang bandéra di alun-alun. Buukna nu galing beuki murintil. Kaangin-angin.
Kudu ngiuhan dimana yeuh, pikirna. Masjid Agung. Perpustakaan Daérah. Atawa joglo di taman kota. Pos pulisi rada araringgis. Mulang ka tempat gawé lain bantrak-bantrakkeun. Morérét kieu. Kacipta kudu leumpang nikreuh mapay trotoar. Ngaliwatan dua parapatan katiluna pertelon. Kituna mah duit beak dipake ngeposkeun surat. Ari sugan murah singhoréng ngorédaskeun saku. Bubuhan kilat khusus. Teu panasaran da sa surat keur bébéné di lembur. Orokaya mulang kudu leumpang. Untungna pagawéan geus raréngsé. Kari ngeureutan hurup jang sabloneun pesenan spanduk barudak statsion, anu cenah rék démo Palestina tilu poé deui. Rada nyalsé éta mah gawéaneun peuting. Barina oge wayah kieu mah pasti merul balad si Aang, ngoprék komputer, nyetélan filem indehoy. Sidik moal bisa gawé. Da lain singkah-singkahkeuneun. Manéhna mah kadar pagawé. Maenya cucungah ka babaturan dunungan.
            Sawatara lila kalah siga anu nangtang panas. Ngajentul gigireun tihang bandéra anu taya bandéraan. Duka ditilepan dimana bandérana. Geus lawas Kiwil tara nénjo bandérana. Teu kawas bandéra partai anu rapang dimamana, atawa gambar calon legislatip anu neba alahbatan runtah. Hiji waktu éta ogé bakal jadi runtah. Pasti.
Perpustakaan Daérah. Masjid Agung. Atawa joglo taman kota. Kiwil ngarénjag. Bet kawas. Pikiran. Haté. Atawa. Kiwil kerung. Rét ka joglo nu pernahna peuntaseun jalan. Bréh sapasang rumaja keur silih pacok. Filem indehoy nyirung dina lelembutanana. Laun nyirung.
“Tihang bandéra runtuh!!! Tihang bandéra runtuuuuh!!!” jol aya nu ngagorowok satukangeunana.
Kiwil teu sirikna lumpat ngajauhan tihang bandéra. Reuwaseun lain meumeueusan. Atuda tihang beusi sakitu jangkungna. Kacipta ninggangna. Barang dirérét deui. Tihang bandéra angger ajeg. Aya nu gélo cecengiran bari nunjuk ka manéhna.
“Tihang bandéra runtuh! Tihang bandéra runtuuuh!!! Tihang bandéra katipuuu!!! Tihang bandéra katipuuu!!!!”cek nu gélo ceuceuleuweungan bari nguiran tihang bandéra.
Kiwil tiban bisa kekerot. Leos meulah alun-alun. Muru Masjid Agung anu sapasang menarana agréng kacida. Sup ka palataran parkirna. Tukang jajaluk ngajajar. Lolobana awéwé dibaju karucel. Sawaréh mawa budak. Papanasan. Padahal lain poé jumaah. Apan biasana mahabuna tukang jajaluk lagu jumaahan. Ukur diliwat da puguh naon anu arék dibikeun. Korédas, Gusti, sanés alim sedekah. Gerentesna bari ngadeukeutan tempat abdas.
Sup ka jéro masjid. Panas ngadadak jadi tiis. Rut-rét. Rea nu gogoléran make baju PNS. Samalah aya nu tibra. Horéng masjid teh jadi kantor geuningan. Bayeungyang ngaronghéap deui. Kateuteuari kalah jadi panyumputan.
Sabérésna shalat. Kiwil kalah rut-rét nenjo nu tinggalolér. Bet asa éra. Duka timana jebulna rasa éra. Semu wirang. Mangsana ihtiar. Naha bet kalah hayang ngabebenah bulu mata. Kalah milu nyumput. Gancang ngudar sila, laju ngahintul sakedapan lebah hambalan, nenjokeun sapasang sandal capitna anu dipentrang panonpoé. Kacipta panasna lamun langsung dipaké. Rét ka palebah tempat parkir, aya sapasang manuk nu keur silih pacok luhureun setang motor.
Ari nu begér horéng teu weleh otél, gerentesna. Barang nénjo ka juru tempat parkir, aya sapasang rumaja keur silih lahun handapeun tangkal buah. Anteng kacida silih lahun bari ngiuhan. Teu ieuh kararagok kunu lalarliwat, sok komo ku tukang parkir nu meus-meus niup piriwit tarik kacida, sanajan taya parkirkeuneun. Nu nyirung dina lelembutan mimiti pucukan. Bangun anu kacebor.
Kiwil panceg rék meuntasan mentrang, muru Perpustakaan Daerah. Geus lila teu bucu-baca, bari ngadagoan iuh. Apan lalampahan mulang masih kénéh jauh, mun dipaju asa teu purun. Leumpangna rada jéjéngkéan da puguh séndalna karasa panas. Kaluar ti palataran masjid, ngaliwatan nu jajaluk. Jajaran tukang dagang. Nu nyirop jeung nyedot duwegan. Papasangan, suku pakojot handapeun meja, ari ramo rapet jeung papada ramo. Geuning dimamana, cek haténa. Ras deui kana pirang-pirang filem indehoy nu kungsi dilalajoan, mun pareng dunungannana nyetél, apan sok milu lalajo da puguh tempat saréna hareupeun tivi. Daék teu daék nya milu lalajo. Di peureum-peureum gé da hésé. Nu nyirung na lelembutan, laju mucukan, kebat ngemploh daunna.
Sapanjang leumpang geuning bet kumalangkang mangpirang ringkang nu kungsi katenjo tina filem. Mani atra. Horéng ari nu kitu mani napel, teu lésot-lésot tina ingetan. Kiwil mimiti ngarasa teu pararuguh. Aya nu laun-laun gumuruh dina jero dadana. Siga aya panonpoé anu ngahuru. Léngkahna geus bras deui ka alun-alun.
Alun-alun anu tadi. Tapi ayeuna réa pisan jalma. Papasangan, ngariuhan handapeun tangkal caringin sarta tangkal-tangkal sejen anu aya palebah dinya. Aya nu silih tangkeup. Silih léndéan. Silih pacok. Réa anu tinggoléhé, silih saréan. Kiwil gasik ngagisik panonna ku leungeun anu mimiti kesangan. Bréh éta deui. Eta deui. Sababaraha kali ngucap bari ngusap beungeut. Tapi geuning téténjoan kalah beuki rosa. Réa anu mimiti silih udaran.
Kiwil lumpat meuntas jalan. Hayang buru-buru ninggalkeun alun-alun. Sora klakson mirig Kiwil anu lumpat teu nolih kenca-katuhu. Anjog ka hareupeun kantor DPR, kiwil rénghap ranjug. Teu hayang malik katukang ka lebah alun-alun. Panenjona manco ka hareup, kana mobil anu ngajajar di palataan parkir kantor DPR. Ambuing, mobil teh geuning aroyag kitu. sora tingcikikik deuih. Kalah hayoh panasaran. Sup wé, tuluy nelek-nelek saban mobil harérang. Pék dideukeutan. Ambuing, dina jéro mobil téh loba anu guley. Dina saban mobil aya nu guley. Papasangan. Marotah kacida.
Kiwil ngahégak. Hégak anu lain ieu mah, lain hégak pédah leumpang. Rut-rét. Satpam keur ngaguher. Mobil angger aroyag. Kantor DPR ogé bet asa milu oyag. Siga ku lini. Gancang manéhna kebat deui kana trotoar, leumpang semu dumaregdeg. Dina trotoar, ringkang tina filem tuluy ngajuringkang. Teu kaampeuh. Hésé mareumanana. Siga panonpoé. Kumaha mareumanana. Perpustakaan Daérah geus katémbong. Ngagidig semu ngagidir, Kiwil kebat jeung hégakna. Geblus. Muru tempat maca. Mapayan buku dina saban erak. Gap. Nyokotan sacokot-cokotna. Tuluy néangan méja. kaparengkeun aya nu kosong lebah juru. Pas pisan jandéla. Karek ge rek diuk. Gigireunana pisan. Blah juru pangjuruna. Sapasang rumaja diseragam SMA keur  silih rangkul na panyumputanana, da puguh rada buni kapindingan ku erak buku.
Bruh-bréh deui. Leuwih cekas.  Ayeuna mah tingjuringkang tina saban erak buku, tina saban buku, tina saban kalimat, tina saban huruf. Ngahurup lelembutanana. Kiwil hayang nyumput tapi geuningan teu bisa nyumput. Panon jeung ceulina dikepung timamana. Kiwil rikat muka jandéla. Gajleng. Lumpat notog-notogkeun karep. Geuning kalah lumpat deui ka palebah taman anu tadi. Joglo pinuh kunu bobogohan. Anu shooting geuningan can réngsé. Kamérana ayeuna mah nambahan. Tinggorowok anu nyebut eksen jeung kat. Pamuda gondrong janggotan jeung wanoja buuk beureum ayeuna mah layeut alahbatan salaki pamajikan. Lebah airmancur, anu kiwari mah hurung manceran,  silihrangsadan, tuluy tinggejebur bari baluligir. Réa kacida anu keur dishooting bari taranjang. Lebah tihang bandéra anu gélo keur ucul-ucul sorangan, taranjang,  tuluy ngangsrod kana tihang bandéra.
Kiwil geus teu maliré nanaon. Nyemprung ka palebah kantor pos. Nubrukan veteran anu masih kénéh ngaliud. Méh titotog muru méja pagawé tempat tadi manéhna ngirim surat.
“Punten, Bu! Pangintunkeun!” cenah haroshos.
“Ngintun naon, Cép? Apan tadi atos sérat mah!” Pagawe Pos apaleun keneh Kiwil tadi kungsi  ngeposkeun surat.
“Pangintunkeun abdi, Bu! Kamana wé! Mun tiasa mah kilat khusus, Bu!” Kiwil tambah haroshos. Dumarégdég. Leungeunna ngaragamang mukaan kancing kamejana sorangan. Dumaregdeg. Tuluy rumpu-rampa kana calanana, bangun  ngudaran beubeur.
Pagawé Pos curinghak. Cengkat. Paroman semu kaweur. Rurat-rérét ka satpam.
“Enggal, Bu! Kintunkeun abdi, kamana waé! Kamana waé, asal ulah di dieu!!!” Kiwil teu kungsi lila geus direjengan ku satpam. ***   

Kedungpanjang. 2010
Posted by Unknown | File under :
Sora jam saléndro ti jero imah heubeul pulas bodas, nu sawaréh jandélana ngaremplong kénéh,  ngelentrung salapan kali. Nyalabarkeun halimpu lalampahan waktu. Ngahontal pakarangan. Jam salapan peuting. Peuting katiga. Tengah taun.  
Bulan ngaringkang ti blah wétan, nepungan angkrék pulas bungur nu mangkak lebah juru pakarangan. Saurang wanoja dina korsi, handapeun béntang nu baranang, handapeun langit anu bangun nabeuh gending nyinglar ulas-ulas méga. Handapeun lénglang nu ngahaleuang. Wanoja ngaderes angin nyecep. Nyeuseup nu lawung. Cahaya jeung sambuang. Kalimah bulan mugurkeun ngungun angkrék bungur, pulas nu ngadadak ngawihkeun dalingding tembang kasmaran lebah peuting katiga. Wanoja ngarasakeun aya nu milu mangkak lebah jero dadana. Najan teu surti kana basa nu keur lumangsung harita. Rea ungkara jeung wirahma nu teu mibanda sora. Aya nu sosonoan. Silih hontal. Ngahontal rohang-rohang simpé lebah haténa. Aya nu usik jadi igel lebah urat-urat getihna. Ah, mun  Manehna geus cunduk meureun bakal rea kalimah ngarongheap nepikeun harti saban nu usik. Wanoja gumerentes sorangan.
Wanoja ngarénghap. Namperkeun rénghap bulan, rénghap angkrék. Nyorangan.
Sinta. Wanoja tea. Buukna nu galing laun katebak angin, lir daun sapakarangan. Siga gugupay. Gugupay kanu rek jol nedunan janji anu kungsi kalisankeun. Kitu pisan. Nyorangan di pakarangan. Nganti nu lawas miang. Miang mawa mangpirang harepan, nyimpen katineung anu laun-laun rosa jadi kahariwang. Nganti Manehna. Manehna anu nu baris mulang tengah taun ayeuna. Saukur saregang kalimah, anu lima taun katukang dipasrahkeun ku Manehna, anu ngagariskeun jirim wanci nu kudu dianti. Sinta nganti pinasti. Peuting ieu. Tina menit kana menit. Moal boa saban detikna oge. Tina detik kana detikna asa anggang. Ngangkleung. Lir meuntasan sagara anu motah.
Sinta ngusap pangdiukkan kosong gigireunana. Dina korsi ieu pisan. Korsi anu diajangkeun duaneun. Sinta jeung Manehna salawasna mulan mun pareng bulan purnama. Madungdengkeun kasakten cahaya anu tohaga ngaruntuhkeun wewesen mongkleng. Kalan-kalan ngararampa gumiwang langit, mapandekeun jeung ngemprayna dada sewang-sewang.
Mulang. Mulang. Mulang  kana panineungan. Hiji peuting nu sejen. Peuting katiga nu sejen. Lima taun katukang. Nya harita pisan Manehna neuteup ku teuteup anu lian ti sasari. Teuteup anu sejen. Anteb. Museur. Tapi geuning kalah ngalahirkeun kelemeng leuweung keueung. Tangkal-tangkal anu rarembet dak dumadak ngolebat jeung halimunna anu mupus saban rarambu, mupus saban jalan. Sakedapan purnama gumeleter. Cahaya paregat tuluy muguran jadi sirung dimanana, ngungun pulas bungur.
Mimitina tina korsi. Teuteup eta kiwari bet asa ningker sabudeureun. Jadi teuteup anu leuwih sejen dina implengan. Aheng. Asa nyalingker dina pucuk tihang bandera, anu tambang pangerekna bangun katirisan misono kelebet . Ngintip tina saban daun samoja. Ngeteyep sapanjang pager.
Ah, isarah kalan-kalan sakadar isarah, Sinta mapalerkeun geter anu teu kabaca rusiahna. Tuluy ngimpleng-ngimpleng nu baris ngarongheap lebah panto pager. Meneran dinya pisan. Handapeun neon jalan. Manehna biasana ngajanteng heula. Meungkeut buuk panjangna. Nyekeskeun korek api, nyeungeut roko. Roko bodas. Mentol. Satutasna tilu kali nyerebungkeun haseup, nyurungkeun panto beusi. Sora nu ngageret manjang. Manehna ngalengkah. Kaos hideungna. Calana levisna. Ransel biruna. Tara kamamana deui. Lempeng muru korsi ieu. Korsi nu kiwari karampa haneut. Lir haneut awak Manehna. Peuting ieu mah. Geus diniatan mun geus katenjo rentang-rentang ringkangna Manehna, Sinta arek mapag kaluar. Arek mangnyeungeutkeun rokona. Arek mangmukaeun panto pager. Arek dikaleng muru korsi. Arek nembongkeun kasono.
Paduduaan. Ukur paduduaan. Silihlawungkeun kalangkang nu dipaparinkeun ku bulan. Saban purnama.  Mun paduduaan, Sinta apal, Manehna bakal ngamimitian murak ringkang nu kajuringkangkeun sabulan campleng. Sorana semu gumeleter bangun anu nyidem usum tiris. Haseup rokona nu langgeng nyerebung muput saban kekecapan.  Tuluy ngalelebah naon anu keur diguntrengkeun daun kana daun. Ngimpleng-ngimpleng nu diharewoskeun angin.  Saeusi pakarangan sok tuluy diwawaas caritana sewang-sewang. Cenah mah tihang bandera miceuceub tangkal samoja. Ari daun migeugeut taneuh,  Bet siga carita anu ngagambarkeun kahirupan. Tara bosen ngabandungan nu tuluy ngamalirkeun gerentes. Ti purnama ka purnama. Manehna salawasna ngasongkeun dunya nu anyar keur Sinta, ngasongkeun sagara jeung parahuna. Balayar. Lalayaran sapanjang peuting, sapanjang purnama..
“Sinta, Bulan tara jalir kana janjina. Ngan mega kalan-kalan wangkedang memeh usumna.” Kitu cek Manehna dina geter sora anu sejen. Dina hiji peuting anu sejen tea. Dina teuteupna anu sejen.     
 Lima taun. Manehna ngiles. Musna. Taya iber atawa beja, estuning simpe. Da kitu carek duanana. Sinta ukur mulasara saban geter anu namper ku jempling. Api-api jempling, saestuna kasono motah ngajaul jadi pucuk-pucuk guligah nu ngaduruk kalbuna. Saban purnama sapanjang lima taun. Sinta ukur nepungan korsi nu molongpong. Dadana asa gorowong. Asa aya ajag nu nu ngagorogotan rohang-rohang dada. Tuluy babaung sapanjang waktu.
Sinta nyirian wanci ku angkrek pulas bungur. Sakadar nandaan mangsa. Satutasna Manehna miang. Apan Sinta tuluy dikawinkeun ku kolotna. Siga carita Siti Nurbaya. Dijodokeun. Teu kungsi amprok heula. Langsung pruk jatukrami. Sakadar tuhu ka sepuh. Taya bogoh atawa geugeut. Estuning taya geter. Teu burung geuning lungsur-langsar rumahtanggana. Kalan-kalan Sinta sok ngahelas mun nyanghareupan salakina. Enya. Salakina teu apaleun nu dipihukumna satemena ukur nyanghareupkeun beungeut. Sedeng atina apan salawasna muntir ka Manehna. Asa jadi jelema hianat. Ucap jeung lampah ka salakina, pasalia jeung  hate. Tapi apan cinta teu bisa dipaksakeun.  Najan kitu, Sinta beuki tapis nyumputkeun nu nyangkaruk. Ngayonan anu mikanyaah. Najan kabagjaan ukur semu. Kahirupan lumangsung lir amis jeung maduna. Malah apan geus batian. Nenden. Geus dua taun Sinta jadi indung.
Salakina geus apalaeun mun meneran purnama. Sinta sok menta mulang ka imah indungna. Geus rupa-rupa alesan. Najan salakina tara tatanya oge, tara tetelepek. Sinta ngarasa alesan perlu sangkan salakina ngarasa dihargaan, teu asa disapirakeun.
Ukur Indungna anu sok rada rewel mimitina mah. Dina taun-taun munggaran kawin kituna teh. Ari kadieukeuna mah bangun anu geus biasa. Tara owel. Paling menta incuna,  Nenden,  dibawa. Atuh jadi siga ritual bulanan tungtungna mah, mulang ka imah indungna teh. Saban bulan purnama salakina leungiteun Sinta. Keur Sinta bulan purnama ukur keur Manehna. Taya nu lian.
“Tos wengi, Neng. Mending dilebet geura. Urang tutup-tutupkeun nya. Nembe aya telpon ti ramana Nenden.” Saurang wanoja tengah tuwuh. Ngaronghéap. Neuteup nu anteng di juru pakarangan. Bet aya kolebat mangkarunyakeun mangsa aya nu mere isarah ku gideug anu laun. Gideug anu leubeut ku katineung. Mugurkeun carita nu langgeng nganti lalakon. Gideug nu matak ngarengkog lengkah nu ngadeukeutan.
“Bilih lebet angin, Bibi mah. Mani nyecep kieu.” Bibi ngarapetkeun baju haneutna. Tuluy nyacampah angin.   
“Antep we, Sumi. Kawas teu apal kana adatna. Pangmikeunkeun jeket anggur. Moal ngolesed bisi budakna hayang dipepende oge.” Sora nu mairan ti jero imah. Indung Sinta.
Bi Sumi ngojengkang deui ka jero.  Teu lila geus mawa jékét. Pek diasongkeun ka Sinta. Sinta nampanan. Jeket disimpen dina lahunan.   
“Euleuh, mani ngebrak kieu. “ Bi Sumi  tanggah. Bulan buleud. Belenong sem u perak. Bentang-bentang kumariceup. Tingburicak.” Asa emut nuju alit di lembur, Neng. Ngabungbang. Arameng sareng kalangkang di buruan. Tetembangan saruka bungah. Ah, ayeuna kari hirup dina panineungan. Panineungan mah ukur panineungan. Kabagjaan anu moal kasorang deui. Janten rus-ras ieu teh.”
Sinta mencrong Bi Sumi anu keur tatanggahan bari nangkeup harigu. Bi Sumi teh anu ngasuh Sinta ti bubudak.  Nyaah jeung bela alahbatan ka anak sorangan. Ukur Bi Sumi nu apal kajadian Sinta jeung Manehna. Ukur Bi Sumi anu surti pangna angkrek bungur salawasna aya di juru pakarangan.
“Lima taun, Bi. Korsi ieu taya nu ngeusian.” Sinta ngagerendeng. Jeket ayeuna mah ditatangkeup. Bi Sumi kalah anteng api-api teu ngadenge anu hayang dipairan. Geus lawas  hayang ngingetan Sinta, anu teuleum dina carita katineung.  Bi  Sumi siga anu ngawahan. Antara panineungan sorangan, jeung kalakuan Sinta anu cek pangrasana mah micinta anu teu samistina. Bi Sumi hayang Sinta buleud ngambah rumahtangga. Ngubur mangsalawas.
“Lima taun, Bibi. Asa karek kamari. Asa geus ratusan taun. Ayeuna bakal cunduk. Tingali kembang mani mangkak kitu, Bi. Bungur siga anggur.” Sinta malikan deui ngeunaan waktu. Geus lain rusiah jang Bi Sumi mah. Taya rusiah anu disumputkeun.
“Bongan kalah ngangantos anu teu karuhan, Nu liwat mah, Eneng, keun sina ngaliwat. Keur naon ngangantos, misono anu teu kudu dipisono. Apan Eneng tos sadrah dipasrahkeun kanu milari. Kembang, Neng, masrahkeun diri kana seungit, warna mah mung pupulasan. Apan kucubung oge bungur.” Cek Bi Sumi bari ngareret.
“Purnama ayeuna Manehna bakal nedunan janjina, Bi. Bakal ngeusian korsi ieu deui.” Sinta rada kerung ngadenge ucapan Bi Sumi anu siga nganaha-naha. Padahal salila ieu Bi Sumi tara ieuh baranggeureuh.   
“Cek Bibi mah. Teu aya gunana. Jarak sareng waktu sok ngarobih jalmi, Neng. Mudah-mudahan atuh Eneng ge tiasa robih.”  
“Ari Bibi…”Sinta mencrong seukeut. Bi Sumi bet ngaraheutan hatena.”ganganti lima taun. Nganganti kabagjaan. Pamohalan arek ngagilir.”
Bi Sumi nalik neuteup nu mencrong. Teuteup deudeuh. Kagok asong pikirna. Teu hayang nejo Sinta mulang deui kana lalampahan mangsa lawas. Teu narima. Apan Bi Sumi oge anu milu mangaruhan Indungna Sinta, lima taun katukang,  sangkan gagancangan ngajodokeun sarta ngawinkeun Sinta. Malahan api-api nyarita katitipan saur ku bapana Sinta nu harita gering parna. Pajar hayang nenjo Sinta lakirabi memeh nepi kana waktuna.
“Purnama ieu saksina, Bi. Asih anu nu pangasihna. Moal jalir kana pasini. Moal hianat kana rasa. Manehna bakal datang deui siga baheula. Di dieu, di korsi ieu. Carita nu pegat bakal tatan-tatan lumampah deui.” Sinta miceun beungeut kana bulan nu beuki luhur. Ningali teuteup Bi Sumi keur Sinta kalah, ngaliarkeun deui teuteup nu aheng. Rabeng. Lain teuteup lebah peuting nu sejen tea. Ieu mah aheng jeung seukeut siga matapeso.
“Purnama, Neng. Jang Bibi. Asa nembrak keneh lalakon puluhan taun kapengker. Nuju ngabungbang sarukabungah. Namina oge di lembur. Purnama teh diantos pisan. Ngabungbang janten impian. Samemehna sarerea ngarereka naon anu bakal dilampahkeun handapeun bulan. Hiji purnama, Harita pisan, Bibi keur tetembangan. Jol sora pestol tingjaledor. Teu kantos lami aya beja, Bapa Bibi tiwas. Na atuh, breg teh gorombolan ngaraksuk lembur. Duka gorombolan duka tentara. Duka lamun garong. Bibi mah teu apal. Nu apal mah, harita sadaya  bubar katawuran. Imah-imah diduruk. Bibi anu keur tetembangan kalah ngahuhuleng. Tuluy ceurik. Tagiwur. Ningali imah Bibi ngabebela. Indung Bibi oge teu kapuluk. Purnama ngaduruk sagalana, Neng. Purnama sakadar purnama. ” Bi Sumi laju ngaheruk. Laun ngawih Kembang Tanjung.  
“Bibi mah ngarang!”Sinta rada tegeg. Najan kitu Sinta apal Bi Sumi can kungsi  bohong. Ngan teu narima lamun purnama jadi isarah sedih, atawa tumpurna hirup jeung harepan. Tumpurna cinta. Keur Sinta purnama hartina Manehna. Taya nu lain.
Bi Sumi humariring. Ngalengis sorangan. Ngalengis jang dirina. Ngalengis jang Sinta. Taya deui kalimah anu bisa dikamalirkeun jang ngageuing Sinta.
“Cek bibi mah, cekap Nenden janten korban Eneng ngeukeuweuk cinta nu sanes samistina. Apan Eneng harita ngahaja masihan nami eta ka putra Eneng. Naon lepatna pami kanyaah ditamplokeun ka Nenden.” Bi Sumi mungkas obrolan, sabada aya nu nyalukan ti jero imah.
“ Bibi….!” Sinta nyereng. Jep jempe. Baeud lain bobohongan.
Bi Sumi nuluykeun humariring bari ngalengkah lungse ka jero imah.
Sinta. Bulan. Angkrek bungur. Langit tambah ngebrak. Pakarangan lir kalang sambuang jeung cahaya. Marakbak.
Laun aya mobil sedan  ngarongheap. Eureun meneran panto pager.
Sinta curinghak. Gentak cengkat. Barang nenjo anu turun tina mobil. Nenjo rimbagna. Jeket murag tina tangkeupan. Jol lumpat muru nu anyar turun. Mapagkeun nu keur meungkeut buuk. Sora ngageret. Panto pager muka. Silihteuteup.
“Sinta!”
“Nenden!” Jol gabrug wae Sinta ngagabrug anu anyar datang. Namplokeun kasono ku rangkulan anu pageuh siga nu hayang liket salalawasna.
Nenden, Manehna tea, ngusapan buuk Sinta. Ngantep anu pogot nangkeup raket. Dina mobil aya anu lampu jerona dicaangkeun aya dua budak buukna parirang nu katenjona kembar sarta saurang lalaki bule anu nyekel setir. Marerong anu silihgabrug.
“Sinta. Kumaha damang?” Nenden ngolesedkeun rangkulan. Neuteup Sinta anu masih geugeut teu bisa nyarita.
“Sinta. Itu kenalkeun. Oleh-oleh ti Amerika.” Nenden semu heureuy.
“Saha, Nen?”Sinta ngarenjag. Mencrong Nenden. Mencrong mobil. Bulak-balik. Cangcaya mekar dina panonna.
“Ari Sinta. Caroge sareng buah hati atuh. Sinta tos gaduh putra?”Nenden seuri nenjo rindat Sinta anu bangun reuwas. Rampang-reumpeung.
“Nen!”Sinta undur-unduran. Tutunjuk ka Nenden anu katenjona hemeng ku kalakuan Sinta.
“Sinta, kunaon?”Nenden ngadeukeutan anu mimiti nyegruk.
Sinta teu nembal. Lumpat muru imah bari hujan cimata. Teu malira Nenden anu ngahuleng lebah pager. Nenden ngarenghap panjang. Cumalimba. Nyusut nu rembes. Masang imut. Malik deui kana mobil. Cacarita ka salakina. Geblus kana mobil, Mobil laju lalaunan ninggalkeun pakarangan. Bulan. Jeung Angkrek bungur.
Sora jam saléndro di jero imah heubeul pulas bodas ngelentrung sapuluh kali. Bangun marengan Sinta nu ngagukguk kanyenyerian di hiji kamar. Nganti lima taun, manahoreng saukur nganti matapeso nubles tatu. Nyuuh  siraheun budakna anu tibra dina ranjang. Nenden. Nenden anu sejen. 
Bi Sumi humariring keneh bari meundeut-meundeutkeun  jandela. Sora jam ngahontal pakarangan. Bangun hayang ngelentrung ka alak paul. Hayang ngajaul purnama.
Purnama peuting katiga. Tengah taun. Jam sapuluh peuting. Aya nu mugur katebak angin. Carita cinta nu mikung muguran. Bungur. ***    

  

Posted by Unknown | File under :
Peuting meredong.
Méga mendung ngagurayot luhureun imah panggung di juru lembur.
Séah walungan halon norobos runggunuk dapuran awi ti gawir nu pernahna pipireun imah, tepung jeung kelik sit uncuing dina ramo-ramo angin. Sora cihcir, caricangkas sarta jangkrik tingkarayap tina galengan sawah. Sora bangkong ti jauhna.
Angin ngoléséd tina pucuk kana daun.Péténg tingkérésék. Angin parat ngusap kalakay nu nyimbutan lemah, tumpukan suluh nu kabulusan, ngarayap ka bilik nu karancang.
Dapur. Ukur kacaangan ku ruhay lebah hawu. Remeng. Panto ka juru imah méléngé. Aya cahaya kakalicesan ti dinya. Cempor. Mérékétét luhureun bupét, diteuteup dua pasang panon ti dua foto hideung bodas. Bilik katerapan kaléndér wungkul,dua lawang ka enggon ngaréndéng ditutupan ku samping. Korsi paungku-ungku ngariung méja.
Dina salah sahiji korsi. Ma Satin, waruga nu kaseuseup umur, nyarandé malaweung kana cempor, leungeunna anteng ngaramesan buuk. Jandela siraheunana ngagebur, silalatu tingarapung. Sora seuneu ngahakan kai.
Di buruan. Durukan ngabebela, ngéntab-ngéntab. Suluh pabalatak. Nukangan golodog. Nukangan lawang panto nu ngaliglag. Jana diuk dina jojodog ngagesruk ngasah bedog.  Nyanghareupan durukan, nyanghareupan jalan satapak muru lembur. Buukna ngaroyom nutupan beungeut. Saban aya sora sok gentak mencrong ka palebah jalan nu ukur poék ngabelegbeg. Ngarampaan seuseukeut bedog. Ramona-ramona gumeleter.
Korsi naggerét di jero imah. Ma Satin ngajurungkunung. Semu bongkok. Lalaunan,lir kelemeng, malik kana jandéla. Léngkah digusur. Nyampai lebah lawang, nyerangkeun nu ngasah.
“Siga-siga rék hujan, Sujang!” pokna pondok. Sorana beurat.
Jana tiban ngadangheuak. Mencrong jauh bangun hayang ngobét naon nu aya satukangeun mendung.
“Taya bédana, Ma! Rék hujan atawa henteu. Lalakon angger baris karandapan.” Témbalna bedas sabot ngarongkong cai na émbér, disiuk ku dampal leungeun,dikucurkeun kana bedog. Gesruk deui ngasah.
“Mun enya hujan téh lebar temen durukan. Puguh mani asa mabra.”
“Bongan sorangan tuda,” Jana ngarenghap, menerkeun buuk. Ngahuleng sakedapan, “ Puluh-puluh taun hirup mopoék. Sainget uing imah saukur lilin jeung cempor. Siga imah mayit. Asa di kuburan, Ma! Ari Ema bangun genah, tingtrim. Sok mindeng nu sindir sampir, pajar teh: “ Imah dukun téa!” Samalah aya nu togmol kieu : “ Tuh! Minculak pisan. Dasar calon eusi naraka! Sétan malulu éta mah! Sétan marakayangan!” uing apan harita tuluy maok patromak di masigit. Teu kaburu dicaangkeun.”
“Heueuh! Ku Ema harita dipulangkeun deui! Kalakuan nanahaon barangpaok ti masigit, ti leuweung onaman.”
“Ema nyarékan laklak dasar ka uing. Uing bolon kénéh. Tapi apan harita, masigit jarang nu ngeusi. Da poék ogé masigit mah moal aya nu ngareken gogobrog tukang teluh.” Jana bangun nahan kekecapan nu hayang paheula-heula dibekaskeun.
“Masigit mah salawasna aya nu ngeusi, Sujang. Katénjo atawa teu katénjo.” Ma Satin diuk dina lawang, memener samping.
“ Geus nyarékan. Ema kalah ceurik kanyenyerian.sapeuting jeput. Uing nanya ukur dijawab ku inghak. Tujuh poé ti harita Ema, unggal peuting teu nyeungeut nanaon. Kalah ngahajakeun. Apan guyur, majar Ema keur neluh pangeusi masigit.” Jana nuluykeun lamunan, miceunan kekecapan kana létah durukan nu diulinkeun angin.
“Da Ema mah lain dukun. Nyaho apan maneh gé, Sujang?” Ma Satin malaweung deui. Katineung muput lelembutanana. Méga mendung mangsa lawas, tinggulayun.
Gelap di langit miheulaan kalimah ti Jana.
Jana neundeun bedog luhureun asahan. Nangtung. Babatek. Ngasur-ngasurkeun suluh nu pabalatak. Ma Satin hésé béléké turun ka golodog. Dampal sukuna lalaunan nincak tatapakan tina batu walungan. Neuteup Jana, durukan jeung bedog.
Séah walungan beuki harus pacampur jeung tinggeletukna batu. Lamat-lamat kelik sit uncuing asa ngajauhan, asa ngadeukeutan.
“Lamun bener sok neluh batur, uing bakal téga ninggalkeun!” Sora Jana bangun kacampuran ku rumahuh.
“Geus lawas Ema hayang nénjo manéh bubuara, mulan-malén. Mulang mun lebaran. Mawa pamajikan. Mawa budak. Meureun ema ngasaan mangku incu.” Ma Satin mantuan ngasurkeun suluh. Teu lésot panonna tina pucuk seuneu nu tingarigel.
Angin ngaronghéap deui. Tiris nu ahéng. Bangun dikirim  ti guha-guha katineung. Kalong tinggeleber tina tangkal kana tangkal. Guligah mekar na hawa.
“Ti baheula mula. Omongan Ema ngan kitu jeung kitu. Ninitah uing indit. Majar, ambéh nambah pangalaman. Majar, kahirupan ayana saluareun imah.paribasa, kudu siga Nabi Adam nu luas aprak-aprakan ngajajah saban leuweung jang nepungan ringkang Hawa. Uing sorangan hayang. Banget hayang. Ngumbara, nyiar kipayah di dayeuh. Nangtungkeun hirup. Bosen ngajualan suluh jeung maokan kai ti leuweung. Hayang  ngajaran pirang gawé sarta kaulinan nu ukur ngadéngé tina béja.” Jana ngaléngkah ka jalan satapak. Neungeutan nu mongkléng.
“Apan Ema geus ngajujurung,” Ma Satin pipilueun nyaliksik sabudeureun imah.
“Rék kumaha luas indit, mun nénjo kaayaan indung nu anteng miceun manéh tina kahirupan. Anteng nunggelis dina mongkléng. Saha bakal nalingakeun,saha nu bakal nyumponan pangabutuhna. Saha nu rék ngayahoankeun mun tumiba nanaon.”  
“Kahariwang manéh wungkul, Sujang!. Hirup Ema kari sajengkal deui. Taya gunana dipikamelang.” Ma Satin ngoloyong ka pipir. Rurat-rérét. Srog kana tumpukan suluh. Mulang deui kana durukan geus ngagémbol suluh. Bruk diteundeun deukeut durukan.
“Anak mana nu teu melang ka indung. Mun uing indit ka saha uing nitipkeun? Apan urang teu boga dulur, teu boga baraya. Tumpur apan cek dongéng Ema. Cuang-cieung. Anak mana nu téga ninggalkeun indung, indung nu anteng dina kakeueung, teuleum dina katineung.”
“Loba tatangga.”
“Tatangga? Apan Ema sorangan nu geus megatkeun rénghap jeung rénghap balaréa!” sora Jana ngabedasan deui. Ngaléngkah muru durukan. Nénjokeun Ma Satin nu ngurilingan seuneu.
“Manéh, Sujang, nu dikeukeuweuk kamelang mah. Kudu luas ari hayang siga Nabi Adam mah.” Ma Satin anteng ulin jeung seuneu. Siga budak manggih cocoan. Manggih dunya nu baranang.
“Uing geus gilig rek bébéla ka Ema! Uing lain Adam, Ma! Adam onaman teu moboga indung! Indung nu…,” Teu kebat Jana nganggeuskeun kalimah. Kapegat ku sora ngagorobas di pipir. Gentak ngajewang bedog. Dipapay ka pipir. Kana dapuran-dapuran awi. Kana séah jeung geletuk batu.
Sawatara lila Ma Satin ngajanteng, panénjona nuturkeun ringkang Jana nu ngiles dina poék. Aya cimata ngeclak kana durukan. Gancang disusut. Kuriling deui ngasur-ngasur suluh, nu saéstuna geus ngabérés nganti sihung seuneu.
“Naon,Sujang?” cek Ma Satin mapag nu ngaronghéap.
“Teuing! Teu kasampak nanaon.” Témbal Jana pondok. Bedog teu diécagkeun. Tungtung kalimah nu tadi,  ngagantung na lelembutanana.
“Apan aya Si Cioh nu haat ka Ema,” Ma Satin bangun surti. Nuluykeun hanca.
“Bi Cioh? Minggu kali. Témpo-témpo aya bulanna. Kungsi Bi Cioh ngajak bebetah di imahna. Uing bungah, tapi Ema kalah kéképéhan. Da  cenah teu wasa ninggalkeun imah, teu wasa ninggalkeun kalangkang Bapa jeung Aki. Padahal keur naon ulukutek mikiran nu geus euweuh. Sakuduna nangtukeun kahirupan jang poé isukan. Kalah ngubur karep.”
“Montong ngomong kitu, Sujang!” Ma Satin nyentak.
Langit dihias tatit sakedapan.
“Peuting mangkukna. Bi Cioh tinggal ngaran, diséréd ku jalma réa sapaparat jalan.”Jana bangun neureuy saban kekecapanana. Ngulincer ngintip paroman indungna. Taya riuk nu kateguh.
“Baruk? Si Cioh geus miheulaan? Da talajakna kitu, sok purah dudukun. Pintér kana tulah-téluhna. Teu beunang dicaram.” Sora nu nembal datar, taya geter kareuwas atawa karisi. Datar lir lapang nu lega teu kaukur tungtungna.
“Naha Ema bisa dalit jeung dukun? Dukun layeutna jeung dukun. Naha bet Bi Cioh nu deukeut, lain ibu-ibu nu getol pangaosan?”
“Si Cioh batur ti bolon. Mangsa Bapa jeung aki manéh dipergasa,ukur manéhna nu haat ngabaturan nulungan. Manéh dina jero beuteung kénéh. Si Cioh ogé nu ngagedekeun haté Ema sangkan nuluykeun hirup. Saéstuna harita geus pondok pangharepan. Béla pisan, Jang! Samalah nu marajian manéh gé, si Cioh pisan.” Kalimah Ma Satin ngembeng lir cimata.
“Cenah, Bi Cioh guguru ka Ema,” Jana tuluy nyilidik.
“Ema mah teu boga élmu nanaon. Kapeurih mah enya.”
“Naha urang bet kaséréd kalakuanana?”
“Nya nu kieu nu dingaranan takdir.”
“Uing teu ngarti kana takdir.”
“Teu kudu ngarti, cukup ku surti. Takdir hamo bisa dipungkir”
“Takdir! Cek saréréa bapa uing komunis, cek saréréa indung uing dukun teluh…”
“Lain.Bapa manéh lain komunis!” Ma Satin ngajengkat tina durukan. Unggah kana golodog. Diuk deui lebah lawang.
“Lain kumaha? Cek saréréa! Malah cenah aya catétanana di désa ogé.” Jana malik nyereng.
“Aki manéh nu komunis mah. Kekentongna. Pangbedangna, teu hayang giluk jeung jalma réa. Salawasna nyieun bibit pacéngkadan. Bapa manéh mah lain. Getol ka masigit ti jaman budakna ogé. Tara pipilueun nanaon.” Kalimah Ma Satin bet pinuh ku inghak.Panonna ngadadak nénjo kalangkang salakina, kalangkang salakina dina raga Jana nu ngabedega nyekel bedog. Kajadian nu lumangsung puluh taun katukang narémbongan. Cékas. Nembrak. Lebah dinya pisan, salakina ngalugas bedog mapag abrulan jalma réa nu micua sarta rék néwak akina Jana. Lain rék néwak,da puguh samagréng pakarang. Rék diraponan, dirogahala. Nu datang kacida lobana ngepung ti unggal juru. Patingjorowok. Salakina lir pahlawan nu béla ka kolot. Getih ngabayabah. Tina awakna nu sakeudeung gé ngajoprak niban lemah. Akina Jana nu nyumput di jéro. Diboro. Taya bédana jeung salakina.
Ma Satin ngaheruk. Nungkup beungeut.teu wasa nénjo ka buruan. Inghak ditahan. Getih jeung durukan awor dina lelembutanana. Mangsa cimata karasa rék bedah. Ma Satin muru ka jéro imah. Nyuuh dina leungeun-leungeun korsi.
Jana tatanggahan. Ngawawas langit. Nyawang nu ngaronghéap. Girimis. Girimis mimiti tingkareclak. Nyiram durukan. Buruan. Daun nu usik jeung angin. Nyiram warugana.
“Peuting, lir takdir, sampurna keur uing,” gerentesna duka ka saha. Angger mencrong langit mongkleng. Cai nu ngeclak kana kulitna, teu ieuh karasaeun tiris. Sabab keur Jana waktu leuwih nyecep batan nanaon. Waktu lir congo péso nu diteueulkeun sapanjang kulitna. Waktu nu ngulincer rék nyecebkeun papastén.
Girimis jeung pucuk seuneu.
Séah jeung tingbeletukna batu beuki atra. Sora-sora peuting tambah mijah. Angin nyiriwik. Aya kalakay kumalayang kahélangkeun, ragrag ninggang sirah Jana.
Taya isarah nanaon ti lebah jalan satapak. Jana hemeng. Asa teu salah dédéngéan. Nembres kénéh caritaan Mang Darman jeung pada baturna. Yén indungna rék dileungitkeun ti ieu lembur. Siga Bi Cioh. Cangcaya eunteup dina haténa. Boa teu jadi indungna rék dipergasa.
Miceun panasaran Jana ngulincer ka sakuriling imah. Nalingakeun saban nu nyurigakeun, sarta nengetan saban sora nu ngaronghéap. Jol deui ti pipir.mawa suluh sahunyudan. Ngagédéan durukan. Pucuk-pucuk seuneu ngajangkungan. Silalatu rabeng kana sela-sela girimis.
Teu lésot tina bedog. Jana unggah kana golodog. Malik deui. Ka jalan satapak. Sajongjonan ngadédéngékeun sora caah, sora batu, sora sato sarta sora langit. Ngararasakeun nu campuh jeroeun dadana. Hawar-hawar kapireng nu nyegruk. Haténa tambah ngarakacak. Buntu laku. Blus ka jéro imah, ngadeukeutan bupét. Ngagedean cempor. Kerung barang nénjo teu manggih foto nu puluhan taun cicing deukeut cempor. Horeng keur dikeukeupan ku indungna. Teu barang geureuh. Jeung bedog ngoloyong asup ka kamarna.
Sada dipan ngarekét.
Ma Satin cengkat. Ngusap panon ku tonggong leungeun. Rét ka buruan. Seuneu ngagugudag. Rét kana cempor. Haseup hideung ngelun tina liang semprong. Foto diteundeun lebah parantina. Susur-sasar kana kolong bupét. Nangtung deui geus nyekel lilin. Diseungeut ku korék api.
Cahaya lilin laun ngadeukeutan lawang kamar. Nyingraykeun samping nu nutup lawang. Mongkléng peuray ku cahaya lilin. Jana keur ngusapan seuseukeut bedog.
“Sakali deui Ema rek ngingetan, Sujang! Mending henjung geura indit. Tinggalkeun Ema. Ema geus sadrah kana naon bae nu bakal tumiba. Ulah teuing mikiran Ema. Geura lunta, sing lampar. Ema bakal bagja. Bagja, Sujang! Sanajan ema kudu mungkas lalakon teu jauh beda jeung Aki manéh, Bapa manéh.” Ma Satin angger kapireng dareuda sok sanajan sora ngahaja sina tatag.
“Cadu kudu luncat ninggalkeun indung!”
“Ulah nuturkeun napsu, Jalu!” Ma Satin ngadeukeutan Jana. Ngagerendeng bangun mapatkeun dunga.
“Sagala ku uing bakal disanghareupan. Cumah indit ogé. Ringkang ema bakal salawasna ngajuringkang sapanjang hirup.”
“Anggur nurut ka Ema. Sangkan manjang kulawarga urang. Teu pegat nepika manéh. Manéh nu bagéan ngaruntuykeun turunan. Kabagjaan nungguan manéh!” Ma Satin ngusap sirah Jana. “Ema nu baris ngajaga imah, jeung Bapa manéh katut Aki manéh. Bagéan manéh nepungan poé isukan.”
“Poé isuk, getih uing, Ma!” Jana kekerot. Bangun hayang nguniang ninggalkeun kamar. Tapi kalah neundeun bedog kana méja. Semu berat. Awakna nyangheuy, tuluy ngagolédag. Laju nangkuban.
“Montong gurat batu siga Bapa manéh…!” kalimah peunggas marengan rénghap nu nyelek.
Ma Satin oyag. Ngagésér kana siraheun Jana. Remeng katut kelemeng milu oyag. Kamar asa ngarieg.
“Uing moal mundur sacongo buuk.” Sora Jana bet ilang bedasna.
“Hadé! Hadé ari panceg mah. Anggur saré heula, Sujang! Saré sing tibra siga manéh keur orok. Sing tibra, nepi ka alam pangimpian. Sing tibra. Sabab di kamar ieu pisan, manéh gubrag ka alam dunya. Tibra!” Ma Satin kapireng ngagerendeng deui, semu ngadunga, campur ngarajah, tuluy ngahariring ayun-ambing.
Lilin oyag. Sora-sora tambah mijah luareun jandela kamar.
Aya leungeun ngarongkong bedog.
Leungeun jeung bedog ngalayang.
Lilin pareum.
Mongkléng.
Sada nu ngadék. Sada nu ngagerung. Sada nu ngadék. Sada nu ngagerung. Sada nu ngadék. Sada nu ngagerung.
Sada nu nyegruk.
“Hampura, Kang! Tinimbang ku batur. Leuwih hadé babarengan. Geura papag, Bapa! Kang, geura papag anak jeung pamajikan anjeun!”
Sada nu nyisit. Sada nu nubles. Sada nu ngaguprak.
Simpé di kamar.
Sakuriling imah Ma Satin. Tingketeyep mangpirang jalma. Srog kana durukan. Leungeun-leungeun parebut suluh jeung seuneuna. Tingkareteyep deui. Suluh nu sareuneuan ditareundeun di kolong imah, dina unggal juru-juruna. Durukan nguriling imah. Salah saurang mamawa jalikén, manjur-manjurkeun eusina kana bilik sakurilingna, ogé golodog. Rikip pisan. Ati-ati.
Tingkarileus deui. Mangsa seuneu mimiti ngahakan imah.
Séah caah ngajadi gumuruh. Gumuruh pinuh batu. Angin suar-séor. Sit uncuing ngurilingan lembur. Langit saukur dor-dar gelap. Hujan kateuing ragrag di mana.
Peuting ngabebela di juru lembur.



Jatinangor, 2002